Rabu, 21 Oktober 2009

DIBALIK KISAH SUKSES PEMILIK PESONA KHAYANGAN & PESONA DEPOK

DIBALIK KISAH SUKSES PEMILIK PESONA KHAYANGAN & PESONA DEPOK

Fauzi Saleh, contoh seorang pengusaha sukses sekaligus dermawan. Ini berkat kompak dengan karyawannya. Derai tawa dan langgam bicaranya khas betawi. Itulah gaya H. Fauzi Saleh dalam meladeni tamunya.

Pengusaha perumahan mewah Pesona Depok dan Pesona Khayangan yang hanya lulusan SMP tersebut memang lahir dan dibesarkan di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Setamat dari SMP pada tahun 1966, beliau telah merasakan kerasnya kehidupan di ibukota.

Saat itu Fauzi terpaksa bekerja sebagai pencuci mobil di sebuah bengkel dengan gaji Rp 700 per minggu. Bahkan delapan tahun silam, dia masih dikenal sebagai penjaga gudang di sebuah perusahaan. Tapi, kehidupan ibarat roda yang berputar.

Sekarang posisi ayah 6 anak yang berusia 45 tahun ini sedang berada di atas. Pada hari ulang tahunnya itu, pria bertubuh kecil ini memberikan 50 unit mobil kepada 50 dari sekitar 100 karyawan tetapnya. Selain itu para karyawan tetap dan sekitar 2.000 buruh mendapat bonus sebulan gaji. Total Dalam setahun, karyawan dan buruhnya mendapat 22 kali gaji sebagai tambahan, 3 bulan gaji saat Idul Fitri, 2 bulan gaji saat bulan Ramadhan dan Hari Raya Haji, dan 1 bulan gaji saat 17 Agustus, tahun baru dan hari ulang tahun Fauzi. Selain itu, setiap karyawan dan buruh mendapat Rp 5.000 saat selesai shalat Jumat dari masjid miliknya di kompleks perumahan Pesona Depok.

Sikap dermawan ini tampaknya tak lepas dari pandangan Fauzi, yang menilai orang-orang yang bekerja padanya sebagai kekasih. "Karena mereka bekerjalah saya mendapat rezeki.", katanya.

Manajemen kasih sayang yang diterapkan Fauzi ternyata ampuh untuk memajukan perusahaan. Seluruh karyawan bekerja bahu-membahu.

"Mereka seperti bekerja di perusahaan sendiri." Katanya.

Prinsip manajemen "Bismillah" itu telah dilakukan ketika mulai berusaha pada tahun 1989 silam, yaitu setelah dia berhenti bekerja sebagai petugas keamanan. Berbekal uang simpanan dari hasil ngobyek sebagai tukang taman, sebesar 30 juta, beliau kemudian membeli tanah 6 x 15 meter sekaligus membangun rumah di jalan jatipadang, jakarta selatan.

Untuk menyiapkan rumah itu secara utuh diperlukan tambahan dana sebesar 10 juta. Meski demikian, Fauzi tidak berputus asa. Setiap malam jumat, Fauzi dan pekerjanya sebanyak 12 orang, selalu melakukan wirid Yasiin, zikir dan memanjatkan doa agar usaha yang sedang mereka rintis bisa berhasil.

Mungkin karena usaha itu dimulai dengan sikap pasrah, rumah itupun siap juga. Nasib baik memihak Fauzi. Rumah yang beliau bangun itu laku Rp 51 juta. Uang hasil penjualan itu selanjutnya digunakan untuk membeli tanah, membangun rumah, dan menjual kembali. Begitu seterusnya, hingga pada 1992 usaha Fauzi membesar. Tahun itu, lewat PT. Pedoman Tata Bangun yang beliau dirikan, Fauzi mulai membangun 470 unit rumah mewah Pesona Depok 1 dan dilanjutkan dengan 360 unit rumah pesona Depok 2.

Selanjutnya dibangun pula Pesona Khayangan yang juga di Depok. Kini telah dibangun Pesona Khayangan 1 sebanyak 500 unit rumah dan pesona khayangan 2 sebanyak 1100 unit rumah. Sedangkan pesona khayangan 3 dan 4 masih dalam tahap pematangan tanah.

Harga rumah group pesona milik Fauzi tersebut antara 200 juta hingga 600 juta per unit. Yang menarik tradisi pengajian setiap malam jumat yang dilakukannya sejak awal, tidak ditinggalkan. Sekali dalam sebulan, dia menggelar pengajian akbar yang disebut dengan pesona dzikir yang dihadiri seluruh buruh, keluarga dan kerabat di komplek pesona khayangan pertengahan september lalu, ada sekitar 4.000 orang yang hadir. Setiap orang yang hadir mendapatkan sarung dan 3 stel gamis untuk shalat. Setelah itu, ketika beranjak pulang, setiap orang tanpa kecuali, diberi nasi kotak dan uang Rp 10.000. tidak mengherankan, suasana berlangsung sangat akrab. Mereka saling bersalaman dan berpelukan. Tidak ada perbedaan antara bawahan dan atasan.

Menurut Fauzi, beliau sendiri tidak pernah membayangkan akan menjadi> seperti ini.

"Ini semua dari Alloh. Saya tidak ada apa2nya." Kata pria yang sehari-hari berpenampilan sederhana ini. Karena menyadari bahwa semua harta itu pemberian Alloh, Fauzi tidak lupa mengembalikannya dalam bentuk infak dan shadaqoh kepada yang membutuhkan. Tercatat, beberapa masjid telah dia bangun dan sejumlah kaum dhuafa dan janda telah disantuninya. Usaha yang dijalankannya tersebut, menurut Fauzi ibarat menanam padi.

"Dengan bertanam padi, rumput dan ilalang akan tumbuh. Ini berbeda kalaukita bertanam rumput, padi tidak akan tumbuh". Kata Fauzi.

Artinya, Fauzi tidak menginginkan hasil usaha untuk dirinya sendiri.

"Saya hanya mengambil, sekedarnya, selebihnya digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan sosial." Katanya.

Sekitar 60 % keuntungan digunakan untuk kegiatan sosial, sedangkan selebihnya dipakai sebagai modal usaha. Sejak empat tahun lalu, ada Rp 70 milyar yang digunakan untuk kegiatan sosial.

"Jadi, keuntungan perusahaan ini adalah nol." Kata Fauzi.

" Jika setiap bangun pagi , kita bisa mensyukuri dengan tulus apa yang telah kita miliki hari ini, niscaya sepanjang hari kita bisa menikmati hidup ini dengan bahagia"

Senin, 19 Oktober 2009

Dari Arang sampai Helikopter

Tahukah Anda bahwa sejarah kewirausahaan di tanah air telah dimulai jauh sebelum peristiwa kemerdekaan, bahkan telah ada sejak zaman

bahari dahulu kala, ditandai dengan kegiatan perdagangan yang

dilakukan para pedagang dan pelaut Indonesia di seputar Asia Tenggara

sampai ke pulau Madagaskar di Afrika.



Di bawah ini adalah kisah wirausahawan Indonesia angkatan abad lalu,

Abdul Ghany Aziz, yang kaya akan nilai-nilai keteladanan serta sangat

memberikan inspirasi yang tak terukur harganya, terutama bagi kita

yang ingin menelusuri apa dan bagaimana sesungguhnya dunia

kewirausahaan itu. Beberapa butir dari keteladanan dimaksud, bukan

tidak mungkin akan memberi dorongan kepada kaum muda Indonesia untuk

mulai mengambil ancang-ancang terjun ke dunia wirausaha:



. Semangat Pantang Menyerah: Ghany mengalami kebangkrutan

secara bertubi-tubi, entah berapa jumlah uangnya yang dipakai sebagai

modal usaha ternyata harus amblas tanpa bekas. Namun demikian,

kejadian-kejadian semacam itu ternyata tidak membuatnya jera untuk

berbisnis, bahkan bagaikan harimau luka, ia justru makin meningkatkan

intensitas usahanya sedemikian rupa, sampai pada akhirnya dapat

meraih sukses. Semangat pantang menyerah seperti ini perlu sekali

untuk dimiliki dan dijiwai oleh kalangan muda Indonesia, agar mereka

tidak terbentuk menjadi generasi cengeng, yang selalu ingin hidup

enak di bawah berbagai fasilitas milik orang tua atau pihak-pihak

lain.

. Tidak Bergantung Pada Modal Uang: Para pemuda dan calon

pengusaha Indonesia masa kini selalu saja merasa bahwa faktor

ketersediaan modal uang, merupakan kendala utama yang menghambat niat

mereka untuk berusaha. Pada berbagai program kemitraan antara

pengusaha besar dan pengusaha kecil yang dicanangkan pemerintah, para

pengusaha kecil tersebut hanya mengharapkan realisasi bantuan

keuangan belaka, dan tidak mau tahu dan tidak peduli akan pentingnya

faktor-faktor lain seperti motivasi, keuletan, inovasi cara berpikir,

konsep usaha yang jelas serta faktor manajerial. Abdul Ghany justru

memperlihatkan secara gamblang, bahwa faktor modal keuangan bukanlah

faktor utama yang harus menghalangi seseorang untuk memulai usaha.

Ia hanya mengandal pada kepercayaan, dan ia berhasil. Saya sangat

yakin bahwa sebenarnya faktor-faktor non keuangan justru lebih

penting dalam berbisnis, dari pada faktor ketersediaan modal uang.

. Faktor Usia Bukan Penghalang: Seperti diperlihatkan oleh

Ghany, umur seseorang tidaklah merupakan halangan untuk seseorang

bekerja dan berusaha. Tidak ada istilah masih terlalu muda, atau

sebaliknya tidak ada istilah sudah terlalu tua dalam berwirausaha.

Ia sendiri memulai debutnya pada usia 11 tahun, mengalami berbagai

kegagalan sampai usia 52 tahun dan pada usia 84 tahun memulai kembali

kiprahnya sebagai wirausaha yang harus memimpin perusahaan besar

dengan ratusan orang karyawan.

. Semangat Patriotisme: Pada masa penjajahan, menjadi

pengusaha mungkin bisa menyebabkan seseorang lupa akan kodratnya

sebagai anak bangsa yang harus berjuang merebut kemerdekaan. Akan

tetapi, Ghany dan banyak pengusaha pribumi lain, tidak demikian.

Mereka tetap berkontribusi pada perjuangan, sesuai dengan

kapasitasnya sebagai wirausahawan, meski untuk itu mereka harus

banyak berkorban. Ghany telah membuktikan bahwa ia rela kehilangan

perusahaan dan harta bendanya karena dukungannya kepada perjuangan

kemerdekaan bangsa.





ABDUL GHANY AZIZ -- Firma Kiagoos dan PT Masayu



Tokoh ini dilahirkan pada tanggal 28 November 1893. Keturunan

Sumatera Selatan (Palembang) tapi dilahirkan di Betawi atau Jakarta.

Dalam bidang kewirausahaan, Abdul Ghany termasuk beruntung karena ia

mempunyai tokoh panutan, yaitu ayahnya sendiri. Sang ayah, Kiagoos

Abdul Aziz, adalah seorang pedagang besar yang bergerak dalam jual

beli hasil-hasil pertanian. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila

naluri dagang Abdul Ghany begitu dominan. Meski pendidikannya hanya

sebatas Sekolah Dasar (HIS = Hollands Inlandsche School) yang tidak

tamat pula, kehidupannya justru sangat sukses melalui dunia usaha.



Karirnya dimulai sejak kecil, sekitar usia 11 tahun ia telah mulai

membantu sang ayah, pemilik perusahaan Firma Kiagoos Abdul Aziz &

Co. Di sini Abdul Ghany dididik sangat keras dalam praktik

berusaha. Meski bekerja dengan ayah sendiri, ia harus memulai

segalanya dari bawah. Mula-mula sebagai penjaga gudang, untuk

meningkat sedikit demi sedikit, sebelum mendapat lampu hijau dari

sang ayah untuk membangun dan mengelola usahanya sendiri.



Sayangnya, jalan hidup Abdul Ghany memang berada pada tahun-tahun

yang keras. Tahun 1914 sampai 1918 meletus Perang Dunia I.

Pengaruhnya cukup dahsyat atas kondisi perekonomian dunia, termasuk

di Indonesia. Daya beli masyarakat anjlok, sedang barang dagangan

menjadi langka. Sekitar tahun 1922, Abdul Ghany mengelola cabang

Firma Kiagoos di Palembang. Namun karena dampak perang terus menerus

menyebabkan kesulitan ekonomi, akhirnya perusahaan ini tutup karena

bangkrut. Dan Ghany pun memutuskan untuk hijrah ke Singapura,

mencari pekerjaan.



Ia menghabiskan waktu sekitar 2 - 3 tahun di negeri Singa untuk

bekerja sebagai pembantu di sebuah rumah makan, sambil juga berusaha

dengan jalan menjadi pedagang perantara valuta asing (dolar) bagi

para pedagang Indonesia yang datang ke sana. Saat terjadinya

pemberontakan komunis di Indonesia tahun 1927, ia pulang ke tanah

air, dan kembali mencoba berbisnis dalam bidang hasil pertanian di

Sumatera Selatan, yang antara lain meliputi kopi, rotan dan karet.



Ghany sangat idealis dan pemberani. Ia tidak takut untuk bersaing

dengan pedagang-pedagang Cina yang menguasai jaringan perdagangan di

bidang itu. Untuk memenangkan persaingan, tidak tanggung-tanggung ia

membayar lebih dahulu harga hasil bumi yang masih dalam masa tanam,

kepada para petani. Ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk

memenuhi permintaan para kliennya, para eksportir.



Namun apa mau dikata. Musim hujan yang berkepanjangan menghancurkan

segalanya, mulai dari persawahan petani yang tidak bisa lagi di

panen, sampai harapan Ghany yang melihat dengan sayu betapa para

petani itu tidak mampu memenuhi kewajiban untuk memasok hasil

pertanian yang telah ia bayar di muka. Maka, lagi-lagi bangkrutlah

ia.



Demikianlah perjuangan tokoh wirausaha ini berlanjut terus di bawah

tekanan penderitaan bertubi-tubi. Ia konsisten dengan pendiriannya

untuk selalu berada di jalur wirausaha, meski kenyataan pahit selalu

membayangi. Tekanan datang dari pemerintah Belanda, yang antara lain

telah memberlakukan peraturan pajak diskriminatif, di mana para

pengusaha pribumi harus membayar jauh lebih besar dibanding kewajiban

yang dikenai pada para pengusaha Belanda. Di samping itu, tekanan

juga datang dari persaingannya dengan jaringan usaha kaum pedagang

keturunan, yang dengan perkumpulan-perkumpulannya tidak segan untuk

melancarkan strategi doping (menjatuhkan harga). Dengan doping

tersebut, banyak perusahaan-perusahaan pribumi yang harus gulung

tikar, dan kendali harga sepenuhnya dipegang kembali oleh kaum

pedagang keturunan.



Tahun 1939, Ghany beserta dua rekan masing-masing Ayub Rais dan

Dasaad, mendirikan sebuah perusahaan yang dinamakan Malaya Import.

Perusahaan ini bergerak dalam bidang penjualan tekstil, yang diimpor

dari Jepang.



Tahun 1940, satu lagi perusahaannya didirikan, kali ini bernama Firma

Kiagoos Brothers bersama-sama Dasaad. Perusahaan tersebut juga

berkiprah dalam penjualan tekstil. Sebuah pabrik tekstil milik

Belanda yang dibeli di Bangil, menjadi tumpuan harapan mereka untuk

meraih sukses.



Akan tetapi, baru saja perusahaan ini mau tinggal landas, tentara

pendudukan Jepang datang, dan merampas habis semua komoditas yang

mereka miliki. Dan sekali lagi, buyarlah harapan Ghany untuk dapat

mencapai cita-citanya yang tinggi di dunia usaha. Meski begitu,

Ghany tidak pernah berputus asa. Dengan sisa-sisa sumber daya yang

masih dimiliki, ia melanjutkan usahanya dengan berdagang produk-

produk pertanian seperti kopi dan teh. Di tahun 1943, ia bahkan

masih bisa mendirikan sebuah badan usaha lagi, yang diberi nama

Masayu Trading Company. Nama Masayu berasal dari nama isterinya,

Masayu Zaleha.



Masayu Trading Coy berkantor di Bandung, tepatnya di Jalan Tamblong.

Pada awalnya perusahaan ini menunjukkan perkembangan yang sangat

baik, sehingga kantornya selalu diliputi oleh kesibukan setiap hari.



Sementara itu, setelah Jepang menyerah kepada pihak Sekutu, timbul

gerakan-gerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai putra

bangsa, biar bagaimana, Ghany mendukung perjuangan kaum pemuda dalam

usaha merebut kemerdekaan. Oleh karena itu, di kantornya yang luas,

ia menampung kegiatan-kegiatan Kantor Berita "Antara" yang berfungsi

sebagai corong perjuangan, serta mengakomodasikan pula kegiatan-

kegiatan kaum pemuda untuk siap berperang melawan tentara Belanda

yang membonceng tentara Sekutu. Pada akhirnya, kegiatan ini tercium

oleh tentara Inggeris, sehingga dalam suatu penggerebekan yang

dilakukan tentara Gurkha, kantor Masayu Trading Coy rusak berantakan,

semua komoditas pertaniannya juga habis hancur luluh atau dirampas.

Kejadian yang merupakan bagian dari peristiwa Bandung Lautan Api itu,

menyebabkan Ghany bangkrut sekali lagi.



Setelah itu, sehubungan dengan situasi negeri yang memanas dan tidak

menentu akibat meletusnys perang kemerdekaan, Ghany mau tidak mau

juga ikut terdampar ke sana ke mari. Mula-mula ia mengungsi ke

Tasikmalaya. Di kota ini, naluri bisnisnya membuat ia menjalankan

usaha di bidang kerajinan tangan khas daerah Jawa Barat seperti

payung geulis, anyaman bambu dan lain-lain.



Pengungsiannya berlanjut ke kota Yogyakarta, karena situasi perang

yang semakin gawat. Di kota gudeg, lagi-lagi ia menjalankan bisnis,

kali ini dalam bidang penjualan arang. Yang menarik adalah, usahanya

pada waktu itu, sama sekali tidak bermodalkan uang. Uang menjadi

langka pada masa perang. Oleh sebab itu, modalnya hanyalah

kepercayaan. Ia mengambil arang dari kota Purworejo, untuk kemudian

diangkut dengan kereta api ke Yogya, dan dijual di sana. Baru

setelah laku, ia bayar hutangnya kepada pemilik barang.



Meski berjalan cukup baik, namun pendapatannya di bidang bisnis arang

tersebut tidaklah terlalu menggembirakan. Maka pada tahun 1949,

Ghany kembali ke Jakarta. Dengan hanya bermodal dengkul, ia putuskan

untuk memulai lagi bisnisnya sama sekali dari nol. Ia tidak punya

uang. Oleh sebab itu, ia mengandal pada kepercayaan orang lain serta

semangat kewirausahaan yang pantang mundur. Ditemuinya beberapa

pemilik produk tekstil serta barang-barang kelontong lainnya di

daerah Jakarta Kota, dan ia tawarkan sebuah program kerja sama

penjualan atas barang-barang dagangan tersebut.



Para pemilik produk yang terdiri dari orang-orang keturunan India dan

Cina itu merasa terkesan dengan sikap Ghany yang jujur dan penuh

semangat, sehingga mereka setuju dengan program kerja sama yang

ditawarkan Ghany. Maka singkatnya. jadilah Ghany juru pemasar barang-

barang dagangan milik para taukeh di Jakarta. Dari kerja sama

perdagangan ini, Ghany mulai mendapat sukses, dan perlahan-lahan ia

bisa mengumpulkan sejumlah uang.



Atas anjuran seorang rekan, Rahman Tamin, Ghany mulai menimbang-

nimbang untuk mengaktifkan kembali perusahaan miliknya dulu, yaitu

Masayu. (Dasaad dan Rahman Tamin adalah orang-orang yang dekat

dengan Ghany, dan keduanya juga merupakan pengusaha-pengusaha besar

serta kenamaan di Indonesia masa itu. Mereka termasuk Wirausahawan

Indonesia Generasi I).



Akhirnya, pertimbangannya menjadi kenyataan. Dengan berbekal

sejumlah uang hasil kerja sama dengan para taukeh di Kota, Ghany

menghidupkan kembali Masayu, dan langsung menggebrak dalam bidang

penjualan tekstil. Ia kerahkan semua tenaga, kemampuan dan strategi

dagang yang dimiliki, demi masa depan yang lebih menjanjikan.

Ternyata, nasibnya kali ini cukup baik, sedikit demi sedikit

perusahaannya memperoleh kemajuan, sampai satu saat ia merasa perlu

untuk mencari mitra di luar negeri. Ia tidak mau terus menerus

bergantung kepada Dasaad dengan perusahaannya Gindo and Dasaad

Concern, yang meminjamkan Surat Ijin Ekspor kepadanya.



Tanpa bekal kemampuan berbahasa Belanda sama sekali, Ghany pergi ke

Negeri Belanda. Untung ia berjumpa dengan orang Jerman yang fasih

berbahasa Indonesia, yang kebetulan pula merupakan seorang pimpinan

perusahaan alat-alat pertanian keluaran Jerman. Bersama orang

tersebut, Ghany berhasil menjalin kerja sama untuk mengageni produk

peralatan pertanian di Indonesia, dengan merek Carl Schlieper.



Demikianlah Abdul Ghany Aziz, pada akhirnya mendapatkan jalan lurus

menuju kesuksesan setelah kepergiannya ke Negeri Belanda serta

perjumpaannya dengan orang Jerman yang menjadi mitra bisnisnya.

Dengan usaha yang tidak kenal menyerah, ia berhasil mendapatkan order

dari Departemen Pertanian untuk pengadaan alat-alat bertani. Dari

situ ia juga berhasil meningkatkan penjualannya kepada berbagai pihak

lain.



Meski awal kiprahnya menjadi agen Carl Schlieper mendapat masalah

tuntutan hak paten dari sebuah perusahaan Belanda yang bernama Java

Staal, namun Ghany berhasil mengatasi masalah tersebut dengan bantuan

perusahaan Carl Schlieper sendiri yang terjun langsung ke

Pengadilan. Demikian juga pada saat berikutnya, ketika orang-orang

dan perusahaan-perusahaan Belanda yang tidak senang dengan sepak

terjangnya membuat ulah macam-macam, ia juga berhasil mengatasinya

dengan baik. Bahkan pada akhirnya, beberapa pengusaha Belanda

memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan tokoh kita yang amat

ulet ini.



Setelah berbagai peristiwa itu berlalu, Abdul Ghany Aziz makin

membakukan dirinya sebagai pengusaha yang tangguh. Ia pergi ke

Amerika untuk mengambil keagenan berbagai produk penunjang pertanian,

antara lain menjadi agen traktor dan buldozer. Perusahaannya, Masayu

dan Kiagoos terus tumbuh kokoh dengan berbagai kantor cabangnya di

kota-kota besar di Indonesia, lengkap dengan ratusan orang karyawan

yang siap bekerja keras. Ia bahkan juga berhubungan dengan sebuah

perusahaan asing, Bristow Ltd., untuk mengageni produk helikopter

dari perusahaan tersebut. Maka muncullah PT Bristow Masayu

Helicopters yang berkantor di Jl. Jend. Sudirman Jakarta.



Sosok Abdul Ghany adalah sosok pekerja keras yang pantang menyerah.

Ia baru menyatakan diri pensiun saat usianya mencapai 71 tahun,

ketika ia merasa yakin bahwa fungsinya sebagai pimpinan dapat

didelegasikan kepada para manajer profesional. Itu pun ia koreksi

setelah mendapatkan kenyataan bahwa korupsi merajalela di dalam

perusahaan, beberapa tahun setelah ia tinggalkan.



Banyak orang kemudian tercengang bahwa ada seorang wirausahawan yang

pada usia 84 tahun, kembali aktif memimpin perusahaan besar dengan

ratusan karyawan di bawahnya. Itulah Abdul Ghany Aziz pada tahun 1977

Minggu, 18 Oktober 2009

Dari Athlet...berbelok ke jualan oli

Siapa tak kenal Rudy Hartono? Atlet bulu tangkis yang satu ini adalah satu-satunya pemain Indonesia yang mampu menjadi juara All England sampai delapan kali. Saking hebatnya di lapangan bulu tangkis, Rudy disebut Wonder Boy alias anak ajaib oleh Herbert A. Schele, almarhum tokoh bulu tangkis dunia. Sementara itu media massa menjulukinya sang Maestro bulu tangkis. Tapi, sedikit yang tahu kalau Rudy Hartono juga piawai di bidang bisnis.
Buktinya, PT Topindo Atlas Asia milik Rudy mendapatkan penghargaan Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) 2001. Dibandingkan dengan produk lainnya —seperti Mesran, Penzoill, Federal, Castrol, Agip, Motul, dan produk oli lainnya yang banyak bertebaran di pasar— distributor oli merek Top 1 ini dinilai berhasil memuaskan para pelanggannya. Sudah barang tentu, penghargaan tersebut membuktikan bintang sang Maestro ini belum pudar. Hanya, kali ini bintangnya tidak lagi di lapangan bulu tangkis, tapi sudah pindah ke lapangan bisnis.
Sukses Rudy di bidang bisnis memang layak diacungi jempol, apalagi kini tak sedikit pensiunan atlet yang terpaksa meratapi nasibnya lantaran tak punya sumber penghasilan. Bagi Rudy sendiri, dunia bisnis sebenarnya bukan dunia baru. Sejak kecil, maestro yang punya nama asli Nio Hap Liang ini sudah terbiasa berurusan dengan dagang. Ayahnya, Zulkarnaen Kurniawan alias Nio Siek In, adalah pemilik klub Surya Naga di kota Surabaya. ”Dari kaos, sepatu olah raga, raket sampai alat olah raga, kita jual,” kenang Rudy.
Tak hanya kaos dan perlengkapan olah raga yang mereka jual, bisnis keluarga Rudy pun sempat berkembang menjadi produsen susu. Produk susu keluarga Rudy ini kabarnya tak hanya dipasarkan di wilayah Surabaya tapi sudah berkembang di Jawa Tengah sampai Jakarta. Sayangnya, perusahaan tersebut kini tak beroperasi lantaran tak ada yang mengurus. ”Semua sudah sibuk dengan bisnisnya masing-masing” kenang Rudy sambil tertawa.
Lantas, mengapa Rudy kembali ke dunia bisnis yang telah lama ditinggalkannya? Adalah Jimmy Zhu, sahabat Rudy sejak 1972, yang mengajaknya berbisnis oli. Ketika itu, lima tahun silam, pemilik Topindo itu mengajaknya berjualan oli impor Top 1. Kendati sibuk berurusan dengan pembinaan bulu tangkis, ajakan itu tak ditampiknya. Bersama mantan atlet bulu tangkis lainnya, Ade Chandra, Rudy pun menerima tawaran untuk bergabung di Topindo.
Rupanya, bintang terang masih menyinari Rudy. Tak butuh waktu lama, Top 1 mulai mengancam kedudukan Mesran Prima. Memang, dari segi volume penjualan, Mesran Prima masih mendominasi pasar. Toh, tak sedikit bengkel yang merekomendasikan Top 1. ”Ini mungkin karena faktor harga yang sedikit lebih mahal ketimbang mereka,” ujar Rudy beralasan. Meski begitu, konon Mesran makin khawatir akan keberadaan dan pemakaian oli Topindo. Tak hanya itu. Produsen oli impor macam Shell, Motul, dan masih banyak lagi mulai blingsatan.
Boleh jadi kiat memasang harga yang relatif miring dibandingkan dengan oli impor lainnya membuat penjualan Top 1 makin melejit. Untuk oli kualitas prima, misalnya, Topindo memasang harga Rp 26.000–Rp 30.000. Jauh lebih murah ketimbang oli impor lainnya yang dipasarkan dengan harga mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per liter. Di saat krisis seperti sekarang, ketika orang makin berhitung soal pengeluaran, Top 1 menjadi lebih kompetitif. ”Ini karena konsumen sekarang mulai peduli harga,” kata Rudy.
Tuduhan penipuan dan pemalsuan bertubi-tubi
Keberhasilan Top 1 di pasaran ternyata di luar perkiraan Rudy. Berbeda dengan oli lainnya, Topindo ternyata tak banyak melakukan promosi agar produknya digemari konsumen. Tanpa gencar gembar-gembor beriklan baik di teve, surat kabar, tabloid, majalah atau radio, konsumen melirik dan memakai produk Topindo. Hanya lewat event atau acara olah raga mobil ataupun motor Top 1 menggebrak pasar. Selain itu, menurut Rudy, pihaknya menggunakan metode pemasaran MLM alias marketing lewat mulut. Uniknya, ini dilakukan bukan oleh bagian marketing dari Topindo, melainkan datang dari konsumen.
Entah lantaran banyak yang iri atau karena sebab lain, berbagai isu pun mula ditebarkan para pesaing Top 1. Pukulan telak menimpa Topindo dan sempat menurunkan volume penjualan. Setahun lalu, misalnya, Topindo harus rela produknya dipalsukan. Untunglah, tak berapa lama persoalan tersebut selesai. Tapi, pukulan lain kembali dilayangkan ke Topindo. Kali ini Top 1 dituduh melakukan penipuan merek dan produksi. Kabar yang menyebutkan bahwa Top 1 merupakan produksi lokal yang diproduksi di Indonesia dan dilabelkan di Singapura kembali meruntuhkan kepercayaan konsumennya.
Isu lainnya menyebutkan bahwa Top 1 tak mempunyai pabrik di negara asalnya, Amerika. ”Padahal pabriknya sendiri ada empat di AS,” ujar Rudy tanpa bersedia menyebutkan volumenya. Seiring berjalannya waktu, tuduhan-tuduhan itu seolah hilang dibawa angin. Kepercayaan terhadap Top 1 pulih kembali. Berdasarkan survei yang dilakukan Topindo di banyak bengkel, Top 1 tetap menjadi salah satu oli yang disukai konsumen.
Sebagai Komisaris Utama Topindo, kini Rudy mulai menikmati buah keberhasilan Top 1. Meski masih kalah ketimbang Mesran, Penzoill, dan Federal, pangsa pasar Top 1 sudah mencapai 10% kebutuhan pelumas nasional. Ini lebih tinggi ketimbang Castrol, Agip, Shell dan Motul yang masih di bawah 5%. ”Padahal masuk pasarnya duluan mereka, lo,” kata Rudy.
Cinta Sejati Juragan Oli
Menjadi pengusaha bukanlah impian Rudy Hartono Kurniawan. Meski sejak kecil sudah akrab dengan dunia usaha, dan bahkan menikah dengan keponakan taipan William Soeryadjaja, Rudy lebih menyukai bulu tangkis. Tak heran, selama perjalanan kariernya Rudy mencurahkan waktu dan perhatian untuk olah raga yang satu ini. Mulai dari menjadi atlet, pembina, sampai mendirikan klub Jaya Raya yang menampung atlet berbakat di bulu tangkis.
Saking cintanya terhadap olah raga bulu tangkis, anak ketiga dari delapan bersaudara keluarga Zulkarnaen Kurniawan ini tak mau setengah-setengah menjalaninya. Disiplin serta ketekunannya telah membuahkan banyak hasil. Lantaran sering menjadi juara, namanya pun terukir di Guinnes Book of Record sebagai juara All England delapan kali. Tak hanya itu, pria kelahiran Surabaya 52 tahun lalu ini juga menerima penghargaan Diplome D’Honneur dari Unesco, penghargaan tertinggi di bidang olah raga.
Tapi, setelah bertahun-tahun setia dengan bulu tangkis, iman Rudy pun mulai tergoda untuk terjun ke dunia bisnis oli impor. Dari sekian produk oli impor, pilihannya jatuh ke Top 1. Seolah ingin menjadikan Top 1 seperti perjalanan kariernya yang selalu menjadi juara satu, Rudy pun tak mau tanggung-tanggung menekuninya. Tanyalah dirinya tentang oli, sederet kalimat bakal keluar dari mulutnya. Mulai dari urusan ganti oli sampai bahan oli ada di kepalanya. ”Untuk menjadi sukses, kenali produk sedetil mungkin. Jangan ada yang terlewat,” katanya.
Kini, Rudy sedikit bisa bersantai lantaran cita-citanya untuk membawa Top 1 menjadi top mulai menampakkan hasil. ”Ini semua anugerah dari Tuhan,” katanya. Sayang, bintangnya sebagai artis film kurang begitu bersinar. Asal tahu saja, Rudy pernah menjadi pemain film. Filmnya, yang dimainkan bersama perancang Poppy Dharsono, ternyata kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Entah kapok atau karena sebab lain, yang jelas sejak itu ia tak pernah muncul lagi di dunia film. ”Terlalu banyak waktu yang dibutuhkan,” kata Rudy.
Meski telah sukses di dunia usaha, kecintaannya terhadap olah raga bulu tangkis ternyata tidak pernah padam sedikit pun. Selain sibuk berbisnis, sebagai duta UNDP, ia terus mencari anak-anak yang punya bakat di bidang olah raga bulu tangkis. Tak heran bila Rudy harus turun ke jalan atau gang-gang sempit hanya untuk mencari bibit baru. ”Siapa tahu, kelak ada calon maestro lainnya,” ujar Rudy

Jumat, 16 Oktober 2009

Mengantar Bola Buatan Indonesia ke Piala Dunia

H. Irwan Suryanto (PT Sinjaraga Santika Sport/Triple S):
Mengantar Bola Buatan Indonesia ke Piala Dunia
Meskipun tim sepakbola nasional Indonesia masih bermimpi untuk berlaga di ajang Piala Dunia, kehadiran nama negeri ini setidaknya masih terwakili oleh bola bermerek Triple S. Promosi tentang bola buatan Indonesia yang dipakai di ajang sepakbola dunia paling bergengsi ini memang sudah beberapa kali ditayangkan di TV. Namun sebelumnya, berapa banyak sih yang tahu bahwa bola yang akan dipakai superstar Inggris David Beckham atau jagoan tim Argentina Batistuta, ternyata buatan Kadipaten Majalengka, Jawa Barat?
Sukses Triple S merambah pasar global di bisnis bola, tak lepas dari kejelian dan kegigihan H. Irwan Suryanto. Mantan kondektur dan sopir angkutan umum Jurusan Bandung-Cirebon ini, mengawali bisnis pembuatan bola sejak berkenalan dengan salah seorang manajer perusahaan Korea. Kala itu, sang manajer Korea sedang memasarkan produk raket tenis melalui para pelatih tenis.
Saat itu, sekitar tahun 1993, kebetulan Irwan juga sudah berprofesi sebagai pelatih tenis dan berkali-kali duduk sebagai Ketua Pembinaan Pelti Cabang Majalengka. Dari perkenalannya dengan manajer perusahaan Korea itu, Irwan mendapat informasi tentang peluang bisnis industri bola sepak yang sangat besar, karena kebutuhan dunia sangat tinggi.
Maklum, permintaan bola sepak di dunia saat itu sekitar 150 ribu/hari hanya dicukupi pasokan dari Pakistan dan Cina. Pakistan merupakan pemasok terbesar, sekitar 70%, disusul Cina 10%, dan sisanya negara-negara lain, seperti Vietnam, yang juga melihat industri ini bisa dikembangkan dari industri rumahan yang menyerap banyak tenaga kerja.
Irwan menilai industri bola sepak akan sangat cocok dengan kultur masyarakat Majalengka yang cenderung komunal. Meskipun ada beberapa industri yang lebih dulu berkembang, seperti industri gula, kondisinya saat itu mulai lesu dan akan dipindahkan ke luar Jawa. Industri genting tradisional yang sempat lumayan terkenal, juga mulai limbung. Sementara itu, sektor pertanian tak bisa diandalkan karena tanah di Majalengka dan sekitarnya relatif kurang subur. Biasanya, saat musim penanaman usai, kaum lelaki Majalengka segera hengkang ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan dan kembali saat musim panen menjelang.
Didukung keinginan yang kuat untuk memajukan tempat kelahirannnya dan sekaligus menyediakan lapangan kerja buat masyarakat, Irwan memulai bisnis bola sepaknya tahun 1995 dengan modal pinjaman bank sebesar Rp 300 juta, dengan bendera PT Sinjaraga Santika Sport -- disingkat Triple S, yang kemudian menjadi merek produknya. Ia memulai bisnisnya dengan mengirim sekitar 20 pemuda Majalengka magang tak resmi di perusahaan pembuat bola milik PMA Korea di Jakarta. Merekalah yang kemudian menjadi pelopor pengembangan industri bola di Kadipaten Majalengka.
Lambat tapi pasti, usahanya mulai memperlihatkan kemajuan. Sampel produksi bolanya yang pertama, diperkenalkannya ke berbagai kalangan dan mendapat sambutan positif. Lewat bantuan seorang rekannya, Irwan juga turut memperkenalkan produk bolanya ke pasar Korea. Ternyata, kualitas bola buatannya tidak terlalu mengecewakan. Pesanan dari Negeri Ginseng lewat perusahaan Korea di Jakarta segara datang untuk memenuhi kebutuhan bola di sana.
Awalnya, pola bisnis yang dianut Irwan adalah sistem makloon Artinya, ia hanya mengerjakan bola berdasarkan pesanan, dan soal pemasaran menjadi urusan perusahaan pemesannya. Namun, setelah dua tahun berjalan, ia menilai sistem ini tak banyak mendatangkan keuntungan buat dirinya. Maklum, marginnya lebih banyak diambil pemasarnya.
Irwan kemudian mulai meretas jalan sendiri dengan memutuskan hubungan dengan perusahaan Korea yang selama ini menampung bola produksinya. Ia pun bertekad mengeskpor sendiri bola produksinya. Kendalanya waktu itu, ia tidak punya pengalaman ekspor dan sama sekali tak tahu prosedurnya.
Beruntung, berkat bantuan Yayasan Dharma Bhakti Astra, Irwan mendapatkan pelatihan ekspor, dukungan pendanaan dalam bentuk modal ventura, dan berbagai bantuan lainnya. Ia juga rajin mengikuti berbagai pelatihan, sehingga paham seluk-beluk bisnis perdagangan internasional.
Kini, bola produksi Kadipaten Majalengka itu sudah dieskpor ke mancanegara, seperti Singapura, Dubai, Kanada, Malaysia, dan yang paling membanggakan menjadi bola resmi yang digunakan di Piala Dunia Prancis 1998, serta Piala Dunia 2002 di Jepang-Korea Selatan, mendatang.
Selain ketekunannya menggeluti bisnis, faktor keberhasilan bisnisnya yang lain adalah upayanya yang terus-menerus untuk belajar lewat berbagai pelatihan serta faktor kualitas produk. Untuk urusan yang satu ini, Irwan tak main-main. Pasalnya, negara-negara di Eropa sebagai tujuan ekspor Triple S tidak mau begitu saja menerima bola produksi negara-negara lain seperti Indonesia sebelum produk bola tadi lolos uji bebas dari bahan beracun, ramah lingkungan, dan memenuhi standar keselamatan dan kontrol kualitas yang ketat.
Ternyata, memang, produk bola yang kini dipasarkan Koperasi Sinar Jaya Kadipaten yang dipimpin istri Irwan, Hj. Pepen Supartini ini, telah mengantungi sertifikat Commodity of Europe (CE). Sertifikat ini diberikan setelah sekitar 20 bola yang dikirim Irwan dan dites di lab di Eropa terbebas dari kandungan zat berbahaya Mercuri, dan memenuhi faktor keselamatan. Pengujiannya bukan itu saja. Secara mendadak, pabriknya diinspeksi dua kali oleh rombongan tim penguji dari Italia dan Hong Kong yang melakukan penilaian pada 9 aspek kontrol kualitas. Seluruhnya ternyata lolos uji.
Saat ini, meski bola produksinya telah merambah berbagai negara, Irwan masih memiliki obsesi memasarkan produknya di pasar lokal. Alasannya, selain pasarnya potensial, ia juga ingin produk yang dibuatnya tak asing di negerinya sendiri. Upaya ini telah dirintisnya dengan memasarkan bola lewat kerjasamanya dengan berbagai supermarket besar di Tanah Air. Selain itu, ia juga sempat prihatin, karena niatnya membantu pembinaan sepakbola nasional -- minimal dengan mendistribusikan bola buatannya lewat instansi pemerintah -- kurang mendapat tanggapan.
Irwan pernah punya pengalaman pahit tentang hal ini. Suatu waktu, saat berkesempatan bertemu dengan presiden saat itu, Soeharto, ia menyampaikan keinginannya membantu penyediaan bola untuk keperluan pembinaan sepakbola di sekolah-sekolah di seluruh Indonesia. Presiden saat itu langsung mengintruksikan agar pejabat terkait di instansi teknis membuka jalan dan memberi bantuan sepenuhnya terhadap upaya sosial itu. Namun sayang sekali, di tingkat departemen, upayanya ini kandas. Beberapa kali, ia mengajukan permohonan bertemu dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, tapi tak pernah kesampaian, karena alasan kesibukan sang menteri.
Irwan dan istri hanya dapat bertemu dengan Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah, yang malah menguliahinya panjang lebar tentang sistem pendidikan. Padahal, ia saat itu hanya ingin menyumbang bola produksinya agar dapat digunakan di sekolah-sekolah. "Saya malah seperti pengemis," kenangnya, pahit.
Nah, pasar lokal menjadi incaran Irwan, bukan tanpa alasan. Kapasitas produksi Triple S saat ini yang sebesar 20 ribu/bulan bisa ditingkatkan, mengingat kapasitas produksi perusahaannya sebenarnya bisa mencapai 100 ribu bola/bulan.
Kini, Ayah tiga anak -- Vivi Sofiana Mariska (lulusan Jurusan Teknik Informatika ITB), Berni Riana (semester akhir Seni rupa ITB) dan Jefry Romdloni (lulusan Pondok Pesantren Darussalam Gontor) -- ini sedikit-sedikit mulai mempercayakan pengelolaan perusahaan pada anak-anaknya. Contohnya, soal perencanaan pemasaran dan pemanfaatan TI secara optimal, seperti yang disarankan anak pertamanya Vivi, kini tengah jadi perhatian Irwan. Sementara Bernie kini mulai dipercaya ikut menangani desain.
Irwan sadar, keberhasilannya bisa didapat dengan dukungan seluruh karyawan PT Sinjaraga dan para perajin yang memasok bola kepadanya. Untuk mensyukurinya, ia merasa sudah sepantasnya memberikan perhatian yang besar kepada para karyawannya, di antaranya dengan memeberi paket renumerasi di atas rata-rata UMR Kadipaten Majalengka, pemberian tunjangan kesehatan, dan seluruh karyawannya diikutsertakan dalam program dana pensiun dan Jamsostek.
Boleh dibilang, Irwan saat ini sudah mulai menuai hasil jerih payahnya membangun industri bola di kota kelahirannya. Di kantornya yang berdekatan dengan lokasi pabriknya di Desa Liangjulang, Kadipaten Majalengka, terpambang fotonya berdampingan dengan beberapa pejabat tinggi, antara lain dengan Habibie (ketika itu Presiden RI) dan Megawati Sukarnoputeri (masih menjabat Wapres RI). Rekaman foto ini, setidaknya ikut menunjukkan kiprah Irwan, yang memang tak bisa dipandang sebelah mata.
Alamat : Jl. Liangjulang 104, Kadipaten, Majalengka, Jawa Barat. Telepon : (0233) 661514. Faksimil : (0233) 661719.

Rabu, 14 Oktober 2009

Survive Berkat One Stop Adventure

Lintas Jeram Nusantara:
Survive Berkat One Stop Adventure
Badai panas El Nino telah memorakporandakan iklim. Puncaknya pada 1997, manakala kemarau berkepanjangan telah membuat tanah kerontang dan debit air sungai menyusut drastis. Bagi PT Arus Jeram Nusantara, yang membidangi jasa pengelolaan paket wisata petualangan terpadu di kawasan aliran sungai Citarik, Sukabumi, Jawa Barat, kondisi ini sungguh memprihatinkan. Waktu itu, satu-satunya bisnis perusahaan yang lebih dikenal dengan nama dagangnya Arus Liar ini adalah arung jeram (rafting). Namun, mana mungkin berarung jeram di sungai yang airnya cuma sedengkul? "Pada tahun itu kegiatan kami praktis berhenti," kenang Amalia Yunita, Vice President merangkap Direktur Pemasaran. "Tahun itu kami menutup buku dengan catatan kerugian yang cukup besar," lanjutnya.
Pengalaman ini menjadi pelajaran yang sangat penting. "Jika ingin survive, kami tak bisa mengandalkan usaha semata dari kegiatan arung jeram," katanya. Maka, mereka pun menggali potensi lain di sekitar kawasan itu. Mulai dari menyelenggarakan paket trekking ke air terjun, kegiatan reli off-road dengan menggunakan all terrain vehicle, panjat tebing, serta simulasi tempur (paint ball), pelatihan outbound, corporate outing, ed-venture, dan lain-lain. Dari sekadar operator arung jeram, Arus Liar telah bertransformasi menjadi one stop adventure, yang mampu memberikan semua layanan pengalaman petualangan. Bahkan, mereka juga membuka penginapan alami, Nusa Traditional Cottage, yang sangat eksklusif dan menyatu dengan alam -- tanpa peralatan listrik, radio, TV dan ponsel.
"Agar kita bisa benar-benar menyatu dengan alam, melepaskan segala atribut dan kesibukan kota," ujar pecinta alam bertubuh mungil ini. Dengan moto Definitely Not an Everyday Routine, nyatanya peminat terus membludak. Padahal, harga yang dipatok lumayan. Untuk mengikuti Adventure Rafting Trip sepanjang 13 km yang ditempuh dalam tiga jam, Anda harus merogoh kocek Rp 162 ribu/orang, sedangkan Scenic Fun Rafting Trip (4 km dalam satu jam), cukup Rp 92 ribu/orang -- sudah termasuk biaya asuransi dan sertifikat.
Rombongan arung jeram harus booking jauh hari sebelumnya. Bahkan, untuk bisa mendengar gemercik air dan desir daun bambu di penginapan Nusa -- tarifnya Rp 44-92 ribu/orang -- Anda perlu booking dua bulan lebih sebelumnya. Jika tidak ingin repot mengemudikan kendaraan sendiri ke Desa Cigelong di tepi Sungai Citarik, Anda bisa menumpang transportasi yang disediakan dari depan McDonald`s.
Untuk mempercepat pengembangan berbagai layanan ini -- maklum jika dengan modal sendiri cukup besar nilainya, selain juga membutuhkan kompetensi profesional -- Arus Liar menggandeng banyak mitra. Untuk simulasi tempur, misalnya, Arus Liar menggandeng Patriot, yang memang sudah lama bergerak di bisnis ini. Sementara itu, dalam kegiatan off-road dan event petualangan tertentu, dijalin kerjasama dengan Majalah Motor, sehingga sekaligus bisa menikmati publikasi melalui media para penggemar otomotif ini. Dalam melayani permintaan foto dan video dokumentasi kegiatan peserta di lapangan, mereka pun bersanding dengan studio foto. Lagi, guna meningkatkan pangsa pasar dan visibilitas, maka digandeng pula Indonesian Interactive (i2 Indosat) untuk membuka situs e-commerce.
Sadar bahwa produk yang dijual adalah kegiatan berisiko, Arus Liar berusaha mengeliminasi risiko dengan menempatkan prosedur keselamatan sebagai prioritas utama. Semua tahapan dipastikan mengikuti standar baku layanan yang ditetapkan. Tak heran, jika kini Arus Liar memiliki hampir 50 ribu pelanggan, sebagai frequent client dengan catatan prestasi nihil kecelakaan (zero accident). Program pelatihan dan peningkatan layanan tidak hanya diberikan ke para karyawan, tetapi juga bagi masyarakat sekitar, sehingga mereka dapat berperan menjadi pemandu para tamu Arus Liar. Hal ini sesuai dengan misi perusahaan: Memberdayakan potensi sumber daya Indonesia umumnya, dan khususnya masyarakat sekitar.
Tak kalah menarik, pengelolaan dan pemberdayaan SDM. Setiap pegawai perusahaan ini, memiliki angka indeks yang dihitung setiap bulan. Besar-kecilnya angka indeks tergantung pada kontribusi si pegawai terhadap kinerja perusahaan -- dan tentunya, memengaruhi pendapatan dan bonus mereka. Dengan demikian, setiap pegawai berlomba memberikan kontribusi terhadap perusahaan. Dengan menerapkan sistem manajemen kinerja itu, Lintas Jeram selain dapat meningkatkan kualitas layanan pelanggan, juga efisiensi, dan menurunkan biaya operasional yang tercermin di laporan laba/rugi yang teraudit. Dengan pembenahan seperti ini, tak heran jika peringkat Lintas Jeram dalam Enterprise 50 melambung jauh, dari peringkat ke-15 pada 2000 menjadi peringkat ke-7 tahun ini.
Lintas Jeram menerapkan pula sistem organisasi yang terstruktur. Setiap pegawai memiliki struktur kompensasi yang jelas. Setiap pegawai juga menjadi anggota Jamsostek. Di samping itu, mereka memiliki jatah pelatihan sekurang-kurangnya satu kali setahun. Setelah pelatihan, setiap pegawai diharuskan meneruskan materi pelatihan ke semua pegawai dalam bentuk presentasi.
Pimpinan perusahaan: H.A.N. Kawilarang (Komisaris Utama), Adjie Massaid (Komisaris), Lody Koruwa (Direktur Utama), Amalia Yunita (Vice President/Manajer Pemasaran). Alamat: Graha Macola Building (lantai dasar), Jl. Abdullah Syafi`ie 5 (dulu Jl. Lapangan Roos Raya), Tebet, Jakarta 12840. Telepon: (021) 8355885-87. Faksimile: (021) 8314834. E-mail: arusliar@indosat.net.id, lintas@indosat.net.id. Website: arusliar.i-2.co.id.

Senin, 12 Oktober 2009

Bisnis Sukses, Hobi Jalan Terus

Anas Ridwan, PT Boogie Advindo:
Bisnis Sukses, Hobi Jalan Terus
Banyak kisah sukses mereka yang mengawinkan hobi dan bisnis. Salah satunya, Anas Ridwan. Ia sukses di bisnis dan tetap melanjutkan kegemarannya bertualang di alam bebas. Lihat saja gaya anak gunungnya berikut Land Rover tahun 1960-an yang menjadi tongkrongan resminya. Padahal, lelaki berusia 34 tahun ini pemilik perusahaan PT Boogie Advindo (BA), produsen perlengkapan outdoor merek Boogie -- merek yang tak asing di telinga pehobi kegiatan outdoor.
Kelengkapan dan kualitas Boogie tidak kalah dari produk impor. Harap maklum, sebagian besar bahan baku produk ini memang masih impor. Boogie Advindo memproduksi sandal, tas dan ransel, aksesori, celana dan kemeja lapangan, perahu karet, pelampung, drybag, sepatu dan kantong tidur. Semuanya untuk kegiatan penjelajahan alam. Hasil riset menunjukkan, Boogie menempati urutan ketiga untuk produk kegiatan outdoor di pasar setelah merek Eiger dan The North Face.
Usaha Anas berawal dari hobinya berkelana di alam bebas. Usianya masih 13 tahun ketika ia jatuh cinta pada alam bebas. Selanjutnya, ia bergabung dengan Wanadri, kelompok pencinta lingkungan termasyhur di Bandung. Saat diwawancara SWA, Anas mengaku baru saja pulang dari Bandung mengikuti pelantikan anggota baru Wanadri.
Bagi Anas, bisnis dan hobi bisa saling mengisi. Melalui hobi, ia bisa bekerja dan bahkan memperoleh keuntungan. Sebaliknya, ketika merasa jenuh dan capek, ia dapat mengisi waktu dengan bertualang. "Bagi saya, bisnis ini lebih pada sisi nilai tambah suatu produk, bukan semata-mata uang," ujarnya. Ia menyadari betul, dirinya tidak punya bakat dagang. "Motivasi saya sebenarnya adalah punya aktivitas yang menghasilkan. Juga, ingin membuktikan anak gunung pun bisa berhasil," tegasnya.
Pikiran untuk berbisnis mulai muncul ketika berlangsung kompetisi terjun Boogie (terjun payung) di Pantai Kuta, Bali, pada 1990. Di ajang kelas dunia ini, Anas melihat para penerjun payung dunia memakai sandal sport merek Teva. Desainnya yang menarik menggugah keinginannya membuat sandal serupa. Maka, bermodalkan uang saku Rp 100 ribu, ia meminta seorang tukang sol keliling membuatkannya sandal serupa Teva. "Pokoknya, berapapun biayanya," jawab Anas ketika si tukang sol mengemukakan biaya pembuatannya. Padahal, uang di kantongnya hanya Rp 100 ribu.
Sejak itu, Anas mempekerjakan seorang tukang sol keliling untuk memproduksi tiga pasang sandal gunung setiap hari. Sandal ini kemudian dijajakan di kalangan terbatas seharga Rp 17.500-22.500/pasang. Tidak sulit baginya menjual produknya sebab modelnya memang bagus. Namanya juga jiplakan. Alhasil, melalui distribusi teman-teman sesama pecinta alam, sandal kreasi Anas selalu laku terjual. Empat bulan kemudian, ia mencoba meningkatkan kapasitas produksi dengan mempekerjakan lima tukang sol. Produksinya pun meningkat menjadi sekitar 15 pasang/hari. Begitu seterusnya, selama dua tahun Anas memfokuskan produksinya pada sandal gunung -- demikian kalangan pencinta lingkungan menyebut produk Anas -- hingga tukang solnya mencapai 15 orang dengan produksi 50 pasang/bulan pada tahun kedua. Harga pun semakin meningkat hingga Rp 45.000/pasang. Dari harga, Anas mengambil keuntungan 20% per pasang.
Di tahun ke-10 usahanya, total produksi sandal Boogie mencapai 5 ribu pasang/bulan. Tentu saja, tak semua pekerjaan dikerjakan sendiri tetapi juga lewat kemitraan dengan beberapa perajin sandal yang mengerjakan sekitar 60% dari total produksi. Mitra yang dimaksud adalah 7 perajin -- satu perajin terdiri atas dua pekerja.
Lulusan Akademi Pimpinan Perusahaan, 1992 ini mengaku sering menghadapi kendala dalam menjalankan usaha. Terutama, dalam hal pembiayaan. Pasalnya, kalangan perbankan di Tanah Air masih berorientasi komersial, seperti harus ada jaminan sertifikat dan sejenisnya dan bukan pada prospek usaha. Anas mengaku perusahaannya sering diabaikan oleh pihak bank. Selain itu, kebijakan Pemerintah dalam pembinaan industri kecil dinilai Anas hanya berada pada tataran permukaan. "Sering kali tidak nyambung. Mereka tak menyesuaikan dengan kebutuhan di lapangan. Jadi, asal jalan saja," ujarnya mengeluh.
Dikecewakan bank, Anas tidak putus asa. Pada tahun ketiga usia perusahaannya, ia mengembangkan produknya dengan memproduksi tas ransel, drybag, dompet, sepatu tracking, pelampung, tenda dan berbagai aksesori kegiatan pecinta alam. Tahun 1996, ia berani memproduksi perahu karet. Padahal, jarang ada perusahaan yang mampu memproduksi perahu karet seperti itu. Bahkan, saking langkanya, ketersediaan perahu karet pada olahraga arung jeram sangat terbatas. Untuk memproduksi perahu karet, lelaki kelahiran Bogor ini rela terbang ke Taiwan untuk menimba ilmu. Namun, tak ada kesempatan mengembangkannya, sehingga ia melirik perusahaan sepatu yang membuat perahu penyelamat dan arung jeram, PT Heejo Indo. Anas kemudian menjadi penyalur perahu arung jeram perusahaan itu.
Impian membuat perahu karet akhirnya kesampaian atas bantuan seorang karyawan Heejo Indo dan modal Rp 5 juta. Namun, lagi-lagi cobaan datang sebab teman-temannya ragu menggunakan perahu buatannya. Sebaliknya, seorang warga negara Australia, James Casey -- karyawan perusahaan pertambangan Scorpion di Kalimantan -- membeli tiga perahu karet buatannya berikut perlengkapannya.
Hampir bersamaan, Heejo Indo bangkrut. Seluruh peralatan perusahaan ini dibeli Anas dan beberapa karyawannya direkrut ke Boogie Advindo. Untuk produksi, Anas mengeluarkan dana Rp 25 juta buat membangun ruang oven yang mutlak diperlukan dalam membuat perahu karet. Hanya dalam tiga tahun, Boogie Advindo berhasil memproduksi 90 perahu karet, dan terjual 20-30 unit/tahun seharga US$ 1.000/unit untuk jenis Rahong dan US$ 1.100 untuk Maskot. Keuntungan besar mulai tampak di depan mata. Pesanan dari Jawa, Bali, Aceh, Toraja bahkan Malaysia mulai berdatangan. Hebatnya, ia mampu menyelesaikan order-order ini hanya dalam lima hari meskipun harus menjahitnya sendiri.
Namun, kontributor terbesar pendapatan Boogie Advindo tetap berasal dari sandal gunung (40%), diikuti tas (40%), dan 20% dari jenis produk lain seperti aksesori, tenda, pelampung dan perahu karet. Untuk tas, prestasi Boogie terbilang bagus dengan menguasai 20% pangsa pasar kategori perlengkapan outdoor. Sementara itu, 60% dari total produksinya terjual ke wilayah Jawa dan sisanya dipasarkan di Sumatera, Sulawesi dan Kalimantan. Untuk ekspor, meskipun bersifat insidental, pasar terbesar Boogie adalah Malaysia, Singapura, Jepang dan Australia.
Kini, Anas berencana membuka gerai di beberapa daerah lainnya selain gerai yang telah ada di beberapa kota besar di Indonesia. Di dalam negeri, Boogie Advindo menggunakan sistem rekanan dalam membuka gerainya. Pasar ekspor ternyata menjadi perhatian khusus Anas. Targetnya, beberapa gerai akan dibuka di negara-negara ASEAN paling lambat tahun 2003. Untuk merealisasi rencana itu, beberapa langkah telah dilakukan. Misalnya, meningkatkan kualitas SDM dengan mengirim beberapa karyawan mengikuti kursus manajemen di Lembaga Pendidikan dan Pelatihan Manajemen, Menteng, Jakarta. Untuk ini, manajemen Boogie Advindo mengeluarkan dana sebesar Rp 20 juta/tahun.
Boogie Advindo juga telah membuat situs web www.boogieadvindo.com agar produk Boogie lebih dikenal luas hingga ke luar negeri. Gayung bersambut, sebab banyak permintaan datang dari Jepang dan Australia setelah membaca situs ini. Untuk meraih pasar baru, perusahaan ini menawarkan keanggotaan klub Boogie Advindo kepada kalangan pecinta alam. Dengan menjadi anggota, yang bersangkutan akan mendapat diskon harga khusus untuk produk-produk Boogie.
Menurut Anas, hal pertama yang dilakukannya adalah meningkatkan kualitas produk. "Boogie is quality," tegasnya. Kedua, menjual langsung melalui mobil Land Rover Merah (tahun 1970-an) yang bertuliskan "Cepat & Andal Melayani Pelanggan Camp", baik di Senayan maupun pada acara-acara yang berhubungan dengan kegiatan pecinta alam. Kemudian, meningkatkan frekuensi keikutsertaan mereka sebagai sponsor dalam berbagai kegiatan. Terakhir, membantu konsultasi, pelatihan dan informasi seputar kegiatan pecinta alam, khususnya arung jeram.
Satu hal yang sangat diyakini awak Boogie Advindo adalah produk-produk mereka bukanlah produk trendi, penekanannya lebih pada fungsi dan kualitas. Buktinya, walaupun krisis melanda Tanah Air pertengahan 1997, bisnis Boogie tidak terpengaruh sama sekali. Sebaliknya malah meraih untung. "Bagi kami, untung besar nomor sekian. Yang penting, kesinambungan usaha," jelas Anas. Sikapnya yang cenderung hati-hati dan sederhana, ditularkan kepada sekitar 70 karyawannya. Tanpa gembar-gembor, kini ia tengah menawarkan program pembangunan perumahan karyawan, yang berlokasi di dekat kantor Boogie Advindo di Jalan Talang Raya, Bogor.
Anas mengakui, pertumbuhan perusahaannya yang demikian cepat juga akibat konflik yang terjadi di tubuh Alpina, produsen produk serupa. Redupnya sinar Alpina membuka kesempatan bagi pemain lain, termasuk Boogie, untuk masuk pasar. Tak heran jika kemudian banyak pemain baru yang muncul memperebutkan pasar yang ditinggalkan Alpina. Maklumlah, Alpina pernah merajai pasar nasional untuk produk sejenis.
Guna menerobos pasar yang lebih besar, manajemen Boogie Advindo mengupayakan berbagai strategi, termasuk melakukan kegiatan below the line seperti mensponsori kegiatan pecinta alam. Salah satunya, menjadi sponsor atlet International Kayak Festival di Asahan, 2002. Boogie Advindo kini juga sedang membina tiga atlet pencinta alam terbaik nasional. Pertengahan tahun ini, Boogie Advindo mengembangkan usaha dengan membuka BoomAdventure di daerah aliran sungai Palayangan-Pangalengan, Jawa Barat, meliputi arung jeram, kayaking, paralayang, sepeda gunung, tracking, canyoning, bananboat dan war games. Tujuannya tentu saja untuk lebih memasyarakatkan produk Boogie.
Segmen pasar Boogie selama ini adalah pelajar/mahasiswa, penggemar ekstrakurikuler kegiatan alam dan perusahaan outbound atau arung jeram. Strategi lain yang ditempuh Boogie Advindo, menerapkan sistem waralaba, yang dimulai di Lampung dan Cianjur, menyusul kemudian di Bekasi.
Alamat : Jl. Talang Raya No. 28, Bogor, Jawa Barat. Telepon (0251) 371443, 337403. Faksimil : (0251) 377560. E-mail : boogie@wasantara.net.id. Website : www.Boogieadvindo.com.

Sabtu, 10 Oktober 2009

Puspo Wardoyo, dari Guru banting stir jualan ayam

Puspo Wardoyo, dari Guru banting stir jualan ayam
Tahun lalu, Rumah Makan Ayam Bakar Wong Solo menempati peringkat 10, tahun ini langsung meloncat ke peringkat 3. Penghargaan ini memang layak diterimanya. Meskipun dengan pertaruhan yang berat, perusahaan yang dibesarkan tangan dingin Puspo Wardoyo ini mau membuka diri terhadap perkembangan manajemen modern. Selain itu, ia berusaha dengan jujur. Lihat saja perjalanan usahanya yang dibangun dari pinggir jalan serta diiringi makian mertua.
Dengan mantap, Puspo melepas pekerjaan tetapnya sebagai guru SMA di Perguruan Wahidin, Bagan Siapi-api, Sumatera Utara, untuk membuka usaha warung kaki lima berlabel Ayam Bakar Wong Solo di belakang Bandara Polonia, Medan. Tak ia pedulikan omelan mertua dan istrinya, Rini Purwanti, yang tak punya pilihan lain kecuali membantu suami ikut mengelola usaha baru mereka. Padahal, wanita alumni Fakultas Ekonomi Universitas Gadjah Mada ini adalah dosen Universitas Sumatera Utara, Medan. Sang mertua yang jengkel bahkan titip pesan nyelekit pada istrinya, bahwa tindakannya membuka warung pinggir jalan itu ngisin-isini (memalukan). Uang Rp 700 ribu hasil tabungan selama menjadi guru dijadikan modal awal.
Warung milik pria kelahiran Solo 43 tahun lalu ini awalnya berjalan sempoyongan. Jika hari hujan, ayam-ayamnya tidak laku. Berbeda dari praktek curang pengusaha restoran lainnya, Puspo pantang menjual ayam sisanya keesokan harinya. Sejak awal, Puspo sadar betul pentingnya menjaga kualitas dagangan. Lagi pula, warungnya maksimal menjual 7 ekor dengan omset Rp 35 ribu/hari. "Saya bahkan hanya mampu menjual tiga ekor setiap hari pada tiga bulan pertama. Itu pun masih sering tersisa," kisah Puspo.
Namun, dia teguh pada prinsipnya bahwa lebih baik membuka lapangan kerja ketimbang mencarinya. Dan darah wirausaha Puspo ternyata menurun dari ayah-ibunya yang semasa hidupnya juga membuka usaha warung nasi di Solo. Orang tuanya pernah memberi wejangan kepadanya, untuk berjualan ayam bakar saja ketimbang menjadi pegawai. Nasihat ini tampaknya membekas di hati Puspo.
Waktu terus berjalan dan usaha Puspo jatuh-bangun hingga tiga kali. Suatu saat, pembantunya butuh uang cepat guna menebus rumahnya yang akan disita sebesar Rp 800 ribu. Puspo memang punya uang Rp 1,3 juta, tapi telah disiapkan untuk pengembangan usaha. Suatu pilihan sulit: Menolong pembantu atau mengutamakan masa depan bisnisnya. Kata hatinya memintanya menolong pembantu meskipun harus ribut dengan istrinya. Namun, siapa sangka kalau pertolongannya tadi justru awal kesuksesannya.
Pembantunya mengenalkan Puspo dengan wartawan harian Waspada, Medan. Obrolan dengan si wartawan ternyata jadi headline koran ini dengan judul Sarjana Buka Ayam Bakar Wong Solo. Itu terjadi pada suatu hari tahun 1992. Keesokan hari atau setelah headline tersebut, ratusan pelanggan mendatangi warungnya. Seratus potong ayam ludes terjual hari itu dan terus meningkat hingga 200 potong pada hari-hari berikutnya. Omset juga ikut membubung menjadi sekitar Rp 350 ribu/hari. Momen ini sekaligus menyadarkan Puspo bahwa publikasi dan promosi penting untuk kemajuan usaha.
Pertengahan tahun itu juga, BNI menawarkan bantuan pinjaman tanpa agunan (bantuan pegel kop/pengusaha golongan lemah dan koperasi) sebesar Rp 2 juta. Padahal, Puspo tidak mengajukan permohonan pinjaman sebab ia memang tak butuh. Namun, ia setuju dan menggunakannya untuk memperluas warung sekaligus mengganti kompor minyaknya dengan kompor gas yang lebih modern.
Ayam Bakar Wong Solo pun terkenal di seantero Medan. BNI kembali menawarkan pinjaman lunak sebesar Rp 15 juta yang hanya berselang lima bulan dari pinjaman pertama. Pinjaman yang tidak diinginkan ini kemudian menjadi modal pembukaan cabang pertama di kota yang sama pula. Namun, cabang ini bermasalah sebab oleh pemerintah setempat dituding mengganggu ketertiban serta dibangun tanpa izin. Esoknya, Ayam Bakar Wong Solo masuk koran karena tindakan sita dan pembongkaran pemda setempat.
Puspo pasrah dan mengaku salah. Itu merupakan pelajaran berharga baginya. Sebagai gantinya, ia membuka cabang lain di lokasi berbeda (Jalan Gajah Mada, Medan) tapi dengan perizinan yang lengkap. Langkahnya semakin tak tertahankan dengan membuka cabang-cabang baru di setiap konter food bazaar Matahari. Berbagai variasi juga dilakukan dengan menu tambahan seperti gado-gado dan berbagai makanan khas Jawa. Karyawannya membengkak menjadi 24 orang.
Cabang Gajah Mada ternyata laris manis. Sayangnya, status bangunannya masih kontrak dan Puspo berniat membelinya. BNI mendengar rencana ini dan mendukungnya. Bank ini kemudian mengucurkan lagi pinjaman lunak berupa KMK (Kredit Menengah dan Kecil) sebesar Rp 25 juta dan kredit investasi Rp 16 juta. Tahun 1994, BNI kembali meminjamkan KMK sebesar Rp 25 juta dan Rp 200 juta. Pinjaman inilah yang digunakan Puspo untuk membeli lahan Cabang Gajah Mada seluas 30 x 12 m2.
Puspo tampaknya menjadi anak manis BNI dengan turunnya kredit baru -- juga pinjaman lunak KM -- pada 1996 sebesar Rp 465 juta. Dana ini untuk membeli lahan pengembangan usaha baru yakni peternakan ayam potong seluas 1 hektare. Langkah-langkah strategis mulai dilakukan. Setahun kemudian, cair lagi pinjaman sebesar Rp 565 juta untuk membeli lahan di sekitar warungnya d Cabang Gajah Mada menjadi 2.000 m2.
Oleh BNI, Puspo selanjutnya diperkenalkan dengan PT Sarana Sumatra Utara Ventura (SSUV). Waktu itu, ia berniat membeli hak waralaba McDonald`s untuk wilayah Sum-Ut senilai US$ 2 juta. Setelah melewati seleksi ketat, Puspo lolos atas kepemilikan hak waralaba itu dengan satu syarat yang berat: Melepas Ayam Bakar Wong Solo. Ia keberatan, dan ini didukung SSUV. Kata SSUV, ia lebih baik mengelola RM Ayam Bakar Wong Solo dengan lebih profesional. Akhirnya, kesempatan menjadi pemegang waralaba McDonald`s dilepas begitu saja.
Maka, sesuai tuntutan profesionalisme, Puspo mendirikan PT Sarana Bakar Digdaya (SBD) yang memayungi usahanya. Merasa respek dengan usaha Puspo, SSUV memberi pinjaman penyertaan modal sebesar Rp 750 juta untuk jangka waktu pengembalian lima tahun. Dengan demikin, kepemilikan saham SBD ikut berubah dengan 85% milik Puspo dan selebihnya milik SSUV. Pinjaman SSUV digunakan untuk merehabilitasi cabang-cabang rumah makannya dan membeli tanah di kawasan Polonia. SSUV kembali mengucurkan bantuan finansial secara bertahap hingga Rp 2 miliar untuk pengembangan cabang-cabang lain. Atas dorongan SSUV pula, terbentuklah PT Sarana Krakatau Digdaya (SKD) dengan plafon dana sebesar Rp 2 miliar. Lewat SKD, Puspo mulai mewaralabakan produknya.
Puspo juga menggaet PT Sarana Bali Ventura (SBV) untuk berekspansi ke Pulau Dewata. Untuk itu, ia merogoh koceknya hingga Rp 850 juta plus pinjaman dari SBV sebesar Rp 400 juta. Kini, ia telah membuka 11 cabang RM Ayam Bakar Wong Solo di berbagai kota besar: Medan, Solo, Bali, Pekanbaru, Surabaya, Semarang, Malang dan Padang. Cabang di Banda Aceh dan Binjai sempat ditutup, tapi dibuka lagi tahun ini. Terakhir, ia membuka cabang baru di Yogyakarta dengan investasi Rp 500 juta dan diproyeksi balik modal paling lambat akhir tahun ke-2. Lucunya, RM Ayam Bakar Wong Solo belum punya cabang di Jakarta, kecuali satu gerai di Ancol. Puspo tampaknya kesulitan mencari lahan yang luas dan representatif untuk cabang baru di Jakarta.
Selain ulet dan jujur, keberhasilan Puspo juga atas dukungan tim manajemen yang kini mencapai 20 orang, selain 500-an karyawan. Ia merekrut sarjana-sarjana pilihan dari berbagai perguruan tinggi untuk membantunya mengelola perusahaan serta sokongan manajemen dari dua modal ventura tadi.
Meskipun telah terkenal hingga ke pelosok Nusantara, Puspo terus waspada agar pelanggannya tidak bosan. Caranya dengan membuat berbagai variasi menu, selain kualitas harus unggul dibanding lainnya. Saat ini, ia menyediakan 50 lebih menu makanan dan 20-an menu minuman. Pelanggan RM Ayam Bakar Wong Solo akan selalu menikmati sajian yang segar serta bumbu masak jaminan terbaik. Agar pelayanan selalu yang terbaik, Puspo sedikit "cerewet" dengan membuat standardisasi bumbu, pelayanan dan desain interior-eksterior rumah makannya. Semua bumbu dibuat di Medan sebelum didistribusi ke seluruh cabang. "Saya pantang menggunakan bahan pengawet," ujarnya.
Melihat pertumbuhan usahanya, Puspo yakin impiannya membuka cabang di 26 provinsi pada 2005 akan terwujud. Salah satu dasar optimismenya, Ayam Bakar Wong Solo telah diwarabakan dengan royalty fee hanya 6%. "Itu pun masih bisa dinegosiasikan, khususnya di tengah kondisi bisnis sepi seperti sekarang," katanya.
Harga investasi waralaba RM Ayam bakar Wong Solo terdiri atas empat tipe. Yakni, Tipe A plus seharga Rp 750 juta, Tipe A (Rp 500 juta), Tipe B (Rp 350 juta) dan Tipe C (Rp 275 juta). Harga investasi tersebut sudah termasuk bangunan, peralatan, biaya operasi dan persiapan, hak waralaba selama 10 tahun tapi minus biaya sewa tanah. Agar sistem waralabanya terkontrol kualitasnya, Puspo menerapkan pelatihan, khususnya untuk pelayanan dan kebersihan agar mencapai standar yang telah ditetapkan.
Tak puas hanya bermain di dalam negeri, Puspo berencana mengembangkan gerai usaha di Malaysia, Singapura dan Brunei Darussalam tahun depan. Di Malaysia, RM Wong Solo tampaknya akan mudah diterima sebab telah sangat dikenal berkat penayangan profil usahanya di TV3 dan TV1 Negeri Jiran ini. Bahkan, banyak orang Malaysia yang datang ke Medan hanya untuk menyantap ayam bakar Puspo.
Rencana lainnya, memperkenalkan Ayam Bakar Wong Solo ke semua lapisan, termasuk masyarakat kelas bawah. Untuk itu, sistem waralaba kaki lima Ayam Bakar Wong Solo telah disiapkan. Sasaran pemegang waralaba model terbaru ini, para mahasiswa, khususnya di Kota Gudeg. Meskipun memakai embel-embel kaki lima, standardisasi pelayanan dan produk tetap terjaga lewat kontrol ketat Bagian Quality Kontrol RM Ayam Bakar Wong Solo. Tak mau kalah dari perusahaan raksasa, Puspo juga meng-online-kan usahanya pada dua situs, www.wongsolo.com dan www.wongsolo.co.id. "Ini lebih agar pelaporan antarcabang lebih efisien dan efektif," jelas Puspo.
Alamat : Jl. SMA 2 Padang Glof, Polonia, Medan, Sumatera Utara. Telepon/Faksimil : (061) 7879061. E-mail : wongsolo@indosat.net.id.

Jumat, 09 Oktober 2009

Berkah atas Kepedulian terhadap Kaum Lemah

Koperasi Jembatan Kesejahteraan: Berkah atas Kepedulian terhadap Kaum Lemah
Herning Banirestu
Satu lagi bukti bahwa menolong orang yang menderita, sungguh tak ada ruginya. Sebaliknya, perbuatan demikian justru mendatangkan berkah berlimpah. Inilah yang dialami Koperasi Jembatan Kesejahteraan.
Ihwal kelahiran koperasi tersebut, begini ceritanya. Ketika badai krisis mengamuk pada 1997, yang paling merasakan dampaknya adalah masyarakat lapisan bawah. Tergerak menyaksikan penderitaan mereka -- yang tak lain saudara-saudara kita juga -- Rajawali Citra Televisi Indonesia (RCTI) menggelar kegiatan sosial lewat Warung Peduli. Kegiatan utama program sosial yang diprakarsai Andi Rallie Siregar (Presdir RCTI waktu itu), Laode Budi Utama dan Taufik Aljufri ini adalah mendistribusikan barang-barang murah ke warung-warung sekitar RCTI, Kebun Jeruk, Jakarta Barat. Barang-barang tersebut merupakan hasil barter iklan RCTI. Warung Peduli merupakan kelanjutan kegiatan sosial yang telah dirintis setahun sebelum krisis meledak, 1996.
Setelah berjalan 1,5 tahun, hingga akhir 1997, kegiatan itu dievaluasi, ternyata layak jika dikembangkan ke format bisnis. Maka, dibentuklah Koperasi Jembatan Kesejahteraan -- belakangan akrab disebut JK saja -- pada 8 Januari 1998. Selama tahun itu, JK berjuang di tengah gempuran krisis dan banyaknya penjarahan. Namun, di tengah kesulitan, JK justru berhasil membuka tiga depo tambahan dan menambah armada distribusi hingga mampu menjangkau seluruh Jabotabek dan karyawan yang jumlahnya 200 orang. JK boleh dibilang masuk arena di saat yang tepat. Ketika jalur distribusi barang-barang tidak lancar akibat krisis, JK tampil untuk membenahinya.
Sejalan dengan berkembangnya JK, profesionalisme pun makin digalakkan, antara lain dengan melakukan perubahan manajemen. Laode Budi Utama, yang ketika itu masih berstatus sebagai pegawai RCTI, pada 1998 diangkat sebagai Pimpinan Operasional JK. Selanjutnya dia yang secara penuh mengelola JK. Pada saat yang sama, masuklah para profesional lain untuk membantu pengembangan koperasi tersebut, misalnya Rahmat Mulyana yang bertindak selaku Manajer Senior JK.
Pembenahan terus dilakukan, hingga pada pertengahan 1999 dibentuk unit khusus, yaitu JK Pembiayaan. Unit ini merupakan lembaga keuangan di bawah JK yang memberikan kredit usaha bagi para pengusaha kecil yang membutuhkan. Pertimbangannnya, beratnya beban krisis membuat banyak warung yang dilayani oleh JK kerepotan dan menunggak pembayarannya. JK melihat adanya kebutuhan kredit yang besar waktu itu. Akhirnya, diputuskan untuk memisahkan unit pembiayaan dari unit pengadaan barang. Maksudnya, agar manajemen cash flow-nya bisa lebih jelas. Ketika itu JK memang sempat kesulitan memikirkan jalan keluar untuk menjalankan unit pembiayaan itu.
Kisruhnya program Jaring Pengaman Sosial (JPS) justru menjadi jalan keluarnya. Kantor Menko Kesra dan Taskin tertarik mengucurkan dana Taskinnya untuk mendukung program JK ini. Dikucurkanlah dana sebesar Rp 18 miliar dalam dua tahap. Programnya disebut Pembiayaan JK Taskin. Targetnya untuk membiayai warung-warung tradisional dengan kredit barang. Maksimum dana yang diberikan Rp 3 juta/nasabah. Kebetulan, banyak profesional yang baru bergabung dengan JK berlatar belakang perbankan, terutama BPR. Dengan begitu, penyaluran kredit dibuat secara transparan, misalnya diiklankan di berbagai media massa. Penerima kredit dan aksesnya pun jelas, administrasi simpel, tanpa jaminan tapi tetap aman. JK antara lain dipercaya oleh Bank DKI untuk penyaluran kredit mikro ini. Program-program JK di bidang pembiayaan ini dinilai bagus oleh Instat Consultant di antara program Taskin lainnya.
Sejak saat itu, JK mulai bisa bernapas karena modal kerjanya ditopang Pemerintah, khususnya untuk penyaluran kredit ke warung-warung tradisional. Dengan demikian, JK bisa fokus pada pengembangan bisnis berikutnya. Melihat kemungkinan akan terdesaknya warung tradisional oleh agresifnya ritel modern, JK terdorong membuat model bisnis untuk ritel modern. Dari sanalah, sejak awal 2000 JK mencanangkan 3 kompetensi bisnisnya, yakni: Distribusi, Ritel dan Pembiayaan Mikro.
Di balik semua itu, fokus JK sesungguhnya bagaimana "memadatkan" teknologi. Dalam arti luas, fokus ini menyangkut branding, manajemen proses, aplikasi komputer dan sebagainya, kemudian menyajikannya dalam bentuk yang sudah jadi kepada masyarakat. Itu sebabnya, Divisi Distribusi menawarkan kerjasama grosir dengan format bagi hasil yang dihitung berdasarkan keuntungan bersih terhadap penyertaan masing-masing pihak, kontrak manajemen (JK menyediakan sistem, dukungan pasokan barang dagangan dan proses manjemen serta evaluasi gerai ritel) serta kerjasama pasokan barang. Divisi Ritel menawarkan sistem waralaba Warung Modern JK 100%, kontrak manajemen bidang ritel, kerjasama bagi hasil (sesuai kontribusi) serta kerjasama pasokan barang. Adapun Divisi Pembiayaan Mikrto menawarkan kerjasama penyaluran kredit (lending service).
Dari tahun ke tahun, kinerja keuangan JK terus meningkat secara mengesankan. Pada 1998 omsetnya Rp 12 miliar, meningkat menjadi Rp 24 milyar pada 1999 dan Rp 59 miliar pada akhir 2000. Penyumbang paling besar terhadap omset JK adalah Divisi Distribusi. Namun, kalau dilihat dari segi profitnya, Divisi Pembiayaan Mikro-lah yang paling signifikan. Hal ini karena Divisi Distribusi membutuhkan investasi yang besar, tapi return-nya agak lama. Namun, pengalaman yang cukup lama di bidang distribusi membuat JK mulai dipercaya oleh para sumber barang (pabrikan) untuk mendistribusikan produk mereka. Selain itu, pengalaman, kemampuan mendistribusikan barang serta sistem yang dimiliki JK telah mendorongnya menawari pihak lain mendirikan grosir dan ritel.
Filosofi JK adalah "meragukan segalanya", yang berarti mereka selalu mengevaluasi setiap langkah yang sudah dilakukan. Dengan begitu, mereka terus-menerus melakukan perubahan dengan mengonversi bisnisnya. Pada 2000 program JK hanya mendistribusikan barang dan uang (loan). Agar hubungan kerjasama dengan para mitranya lebih sistematis, mulai 2001 yang dijual JK adalah sistem atau bisnis modelnya. "Kami bukan lagi menjual barang, tapi model bisnis," kata Laode. Model bisnis yang ditawarkan di antaranya Kerjasama Penyaluran Pembiayaan, Warung Modern JK 100%, JK Grosir dan Total JK.
Dalam perkembangannya, ternyata yang datang untuk bekerjasama dengan JK bukan lagi perorangan tapi institusi. Misalnya, sebuah institusi ingin membuka 50 gerai Warung Modern JK 100% atau ingin diputar dananya untuk komoditas tertentu. Hal ini mendorong JK mempercepat program bisnisnya hingga 2002. "Pendekatannya sudah investor," ujarnya. Maka, pada 2002 bisnis JK dikonversi dengan bertumpu pada pengembangan SDM dan investor/funding management. Dalam kata lain, SDM adalah kunci bisnis JK berikutnya dengan menyediakan tenaga pengelola. Beberapa institusi yang sudah bekerjasama dengan JK adalah Induk Koperasi RTMM (rokok, tembakau, makanan dan minuman), Nahdlatul Ulama, Inkop Syariah (MUI), Koperasi Karyawan Departemen Kehutanan, Koperasi Elnusa, Waserda Jaya dan Koperasi Indosat.
Bervisi menciptakan jaringan bisnis berteknologi mutakhir dan jadi andalan masyarakat dalam pengembangan ekonomi, JK melihat nilai ekonomi terletak pada produk padat pengetahuan. Koperasi JK menilai saat ini eranya knowledge based. Maka, knowledge management di koperasi tersebut sudah dilakukan melalui penerapan lotus notes.
Selanjutnya, komitmen untuk memperdalam kompetensi pada sistem bisnis yang padat pengetahuan terhadap usaha rakyat melahirkan technology for the people. Tak heran jika sistem informasi manajemen JK sudah dikembangkan sejak awal. "Kami juga sedang dalam persiapan e-commerce. Saat ini kami sedang membenahi situs yang ada, www.jknet-online.com," kata Laode.
Kini JK mengelola 18 grosir milik sendiri maupun aliansi, 11 warung modern dan ribuan penerima kredit mikro. Pada akhir 2001 diharapkan sudah mengoperasikan 50 grosir, 25 warung modern dan tambahan ribuan penerima kredit mikro baru. Cakupan areanya meliputi Jabotabek, Sukabumi, Purwakarta, Bandung, Semarang dan Kudus. Selain itu, JK juga terus membenahi strategi dan proses bisnisnya dengan menggunakan konsep atau tren bisnis baru, seiring misi JK dalam mengembangkan ekonomi yang berbasis kepemilikan masyarakat.
Alamat : Jl. Panjang No. 10, Kebon Jeruk, Jakarta 11530. Telepon : (021) 53671753, 53670675, 53676894, 3676895, Faksimil : (021) 53676892. Website: www.jknet-online.com.

Kamis, 08 Oktober 2009

Purdie E Chandra - Tidak sekolah tapi buka sekolah...

Purdi E. Chandra, Lembaga Pendidikan Primagama:
Sukses Berkat Konsisten Menjaga Citra
Tak perlu mendirikan universitas atau sekolah tinggi untuk sukses di bisnis pendidikan. Anda bisa memulainya dengan mendirikan lembaga kursus kecil-kecilan, dan berharap bernasib seperti Purdi E. Chandra. Anda pasti kenal Lembaga Pendidikan Primagama, yang kini telah beranak-pinak di mana-mana. Nah, lembaga pendidikan yang berbasis di Yogya itu, Purdi pendirinya.
Jangan dikira, lelaki kelahiran Metro, Lampung ini lulusan universitas terkemuka di Amerika Serikat atau Australia. Empat fakultas di perguruan tinggi yang pernah dimasukinya -- Fakultas Psikologi dan Teknik Elektro UGM, serta Fakultas Matematika dan Bahasa Inggris IKIP Negeri Yogyakarta -- tak pernah diselesaikannya hingga suukses sebagai pengusaha. Alasannya, "Saya tak suka berpikir linear." Gelar MBA justru diraihnya dari lembaga pendidikan yang ia dirikan sendiri, selain sarjana ekonomi dari perguruan tinggi khusus eksekutif di Malang, ketika usianya telah mencapai 40 tahun, dan kaya lagi.
Namanya juga nasib baik. Meski gagal kuliah, ia sukses di bisnis pendidikan. Dengan santai ia mengatakan, mungkin nasibnya akan lain, jika saja meneruskan kuliahnya hingga berpredikat sarjana. Kisahnya begini. Miris melihat sistem pendidikan yang dinilainya kurang pas, Purdi bersama Herman Legowo (kini dosen UGM) merasa perlu memberi arti dengan menggarap salah satu tahap pencerdasan bangsa, serta memperbaiki sistem dan kualitas pendidikan. Maka, dijadikannya ujian masuk perguruan tinggi negeri (UMPTN) sebagai awal idealisme tadi, sekaligus celah sempit memasuki dunia bisnis. 10 Maret 1982 atau sejak 19 tahun lalu, bimbingan tes yang kemudian diberi nama Primagama resmi dibuka.
Visi idealisme lain pembukaan bimbingan tes tersebut: Memperbaiki kualitas hidup guru-guru yang saat itu -- bahkan hingga hari ini -- sangat tidak wajar. "Saya prihatin melihat penghasilan seorang guru, yang seyogyanya sama dengan penghasilan pegawai bank," kata Purdi, yang ayahnya lurah di Lampung.
Kendati ia anak lurah, darah wirausahawan mengalir deras dalam tubuhnya, yang diturunkan dari sang ibu yang pedagang. Belum lagi, desakan atas kesulitan biaya kuliah yang sering terlambat datangnya. Tak dinyana, bimbingan belajar bagi calon mahasiswa ini, mendapat sambutan positif. Permintaan terhadap kehadiran lembaga seperti ini, bahkan datang dari luar Yogya, yang tentu saja tak bisa dipenuhi Purdi. Maka, orientasi bisnis mulai berkembang dengan membuka kantor cabang (kancab) di berbagai daerah, bahkan hingga ke luar Jawa. Permintaan selain dari calon mahasiswa atau orang tua si calon, juga Pemda setempat.
Contohnya, Pemerintah Kota Samarinda yang tampaknya risau atas kualitas pendidikan daerahnya, meminta manajemen Primagama membuka kancab di sana. "Kerjasama semacam itu banyak kami lakukan untuk mengembangkan Primagama di daerah. Meskipun setelah berjalan, kami yang mengelola," Purdi memaparkan.
Primagama kini memiliki 54 kancab, 181 gerai (outlet), dan 17 waralaba di seluruh Indonesia. Setiap tahun, Primagama rata-rata membuka 6 kancab. Terakhir, Primagama membuka 6 kancab dan 12 gerai baru di Jakarta. Rencananya, siap mengepung Jakarta dengan 40 gerai.
Primagama juga berencana menembus negeri jiran Malaysia, yang telah lama mengharapkan kehadiran lembaga ini. "Banyak siswa Malaysia yang ikut UMPTN," kata Purdi. Target bisnis Purdi, menghadirkan lembaga yang dipimpinnya di semua kabupaten se-Indonesia, sekaligus mencetak pengusaha baru yang optimistis tercapai pada 2004. Dengan sistem jaringan yang saling mendukung, tiap gerai -- termasuk di setiap kabupaten -- tidak harus untung.
Jumlah staf pengajar Primagama saat ini mencapai 1.300 orang, termasuk 123 pengajar tetap, dan 600-an pengajar honorer (tidak tetap). Dalam hal jumlah siswa didik, Primagama masih jauh di atas UGM atau UI sebagai representasi perguruan tinggi terbesar di negeri ini. Tak kurang 32 ribu siswa terdaftar di sini setiap tahun.
Pemerintah tampaknya perlu berguru pada Primagama, dalam hal rekrutmen tenaga guru demi perbaikan kualitas. Pasalnya, sistem rekrutmen guru saat ini cenderung menafikkan kualitas. Asalkan lulus dari IKIP, praktis tinggal menunggu pengangkatan sebagai guru. Harus diakui, kualitas pendidikan perguruan tinggi pencetak tenaga guru itu (IKIP) tergolong payah.
Di Primagama, calon tenaga pengajar harus melalui seleksi ketat. Salah satu tahapannya, siswa atau murid bimbingan ikut memberikan penilaian skill dan performa calon staf pengajar. Jika merasa kurang mampu, siswa berhak menolak bimbingan bapak/ibu guru itu. Jika mayoritas siswa mengajukan penolakan, manajemen Primagama terpaksa menonaktifkan sang guru atau staf pengajar. "Penolakan semacam ini, tak mungkin dilakukan pada pendidikan formal," kata Purdi.
Waktu berjalan dan masa bimbingan yang awalnya maksimal dua bulan mulai dirasa kurang, yang dihitung mundur dari jadwal UMPTN. Menurut Primagama, jadwal bimbingan harus ditambah untuk memberi waktu dan bekal yang cukup bagi calon mahasiswa. Maka, waktu bimbingan ditambah menjadi satu tahun. Model bimbingan terbaru Primagama: Masa bimbingan yang dimulai dari tingkat SD dan SMP. Salah satu pertimbangannya, pendidikan pada setiap tingkatan pendidikan formal dinilai tidak cukup membekali anak didik yang akan memasuki perguruan tinggi, khususnya dalam hal meraih Nilai Ebtanas Murni (NEM) -- prasyarat utama mendapatkan tiket memasuki perguruan tinggi.
Keunggulan Primagama yang sekaligus kiat bertahan di segala kondisi adalah mengembangkan sistem pendidikan atau bimbingan, yang mengikuti perkembangan zaman. Misalnya, mengambil saripati dari perbedaan materi UMPTN dan materi Ebtanas, ternyata pas dengan kebutuhan siswa. Belakangan, metode seperti ini digunakan pula oleh lembaga pendidikan lainnya. Untuk memproteksi hasil pengembangan mereka, Primagama menggandeng Grasindo menerbitkan buku-buku bimbingan belajar Primagama. Tahun depan, Primagama maju selangkah lagi, dengan mengembangkan jasa bimbingan belajar secara online.
Dari sisi bisnis, Primagama tentunya harus pula memperhitungkan berbagai paradigma dan fenomena yang berkembang. Misalnya, peningkatan kadar profesionalisme manajemen. Sebagai tolok ukur keberhasilan, antara lain meningkatnya jumlah peminat bimbingan setiap tahun. Tiga tahun terakhir, jumlah siswa meningkat dari sekitar 20 ribu menjadi 35 ribu. Sering terjadi kejutan: Siswa yang semula nilainya kurang bagus, belakangan meraih nilai tertinggi di sekolahnya setelah mengikuti bimbingan. Jika dipersentase, angka keberhasilan Primagama berkisar 80% -- salah satunya, terlihat dari peraihan nilai mantan siswanya di sekolah mereka, yang di atas rata-rata.
Staf Primagama pun memperoleh kesempatan berprestasi dan imbalan yang sepadan. Namun, hal ini tidak mudah diraih, sebab kualitas bimbingan mereka dinilai siswa lewat angket pada setiap catur wulan. Bagi pengajar yang mendapat nilai A dari siswa, mendapat bonus 20 kali jam mengajar, serta 15 kali jam mengajar bagi yang mendapat nilai B. Ada pula bonus khusus berupa ibadah haji gratis -- Primagama telah memberangkatkan 20 stafnya naik haji. Untuk kepentingan siswa, juga diberikan asuransi setiap siswa selama belajar di Primagama.
Bagus di pusat, tentu saja juga harus bagus di daerah atau kancab. Agar kualitas produk terjaga, pengawasan dari pusat sangat diperhatikan. Seluruh kancab dipantau Tim Pengendali Mutu Akademik di Kantor Pusat Yogya. Pengembangan tiap kancab menggunakan local area network dan intranet, agar lebih efisien dalam pemantauan. Bahkan, untuk menjaga kualitas, awalnya tenaga pengajar dari kantor pusat diterjunkan ke daerah. Evaluasi tahunan pun dilakukan, untuk melihat berbagai aspek yang perlu mendapatkan pembenahan, jangka pendek maupun jangka panjang.
Merasa Primagama telah mampu eksis, tanpa dirinya terlalu banyak ikut campur lagi, Purdi berekspansi usaha dengan membuka pendidikan formal seperti akademi untuk ilmu komputer, dan sekolah tinggi ekonomi dan bahasa. Seperti halnya Primagama, lembaga ini nantinya dibiakkan di berbagai daerah.
Kunci keberhasilan lembaga pendidikan ini, menurut Purdi, pertama, kesungguhan pengelolanya. Kedua, kuatnya citra nama/merek Primagama sebagai lembaga bimbingan belajar. Untuk poin kedua ini, Purdi bahkan tak tanggung-tanggung memakai jasa Rano Karno sebagai spoke person. Ketiga, kepercayaan yang tinggi dari semua elemen pendidikan -- siswa dan orang tuanya, guru, sekolah, pemerintah, perusahaan dan masyarakat -- terhadap kualitas yang diberikan. Tak heran, jika Primagama menguasai 40% pasar bimbingan belajar di 105 kota. Primagama juga menerapkan SMART Solution yakni Simple, Mind (mudah diingat), Applicative, Rational (logika) dan Tactics (siasat).
Sangat wajar, jika hidup Purdi kini bahagia bersama istri dan seorang anaknya. Anggota MPR-RI dari Fraksi Utusan Daerah ini, memang memulainya dari bawah, bawah sekali.
Alamat : Jl. Diponegoro No. 89, Yogyakarta 55231. Telepon (0274) 520481, 520419. Faksimil : (0274) 521482. E-mail : infoprima@primagama.co.id. Website : www.primagama.co.id.

C59 - Berawal dari Gang, Kini Merambah Mancanegara

Caladi Lima Sembilan: Berawal dari Gang, Kini Merambah Mancanegara
Tumbuh dan berkembang dengan gaya manajemen warteg. Begitulah Marius Widyarto, pemilik usaha t-shirt yang terkenal dengan merek C59. Perusahaannya dikembangkan secara alami, dengan mengerjakan apa yang bisa dikerjakan. Perusahaannya tumbuh karena kebutuhan dan tidak pernah terpikirkan mengembangkan usaha secara spekulatif. Ternyata, gaya manajemen sederhana ini justru menghantarkan C59 bukan saja merajai industri kaus di Indonesia, tapi juga menembus pasar Eropa.
Widyarto memulai usahanya dari rumah tinggalnya yang berukuran sekitar 60 m2 di Gang Caladi 59. Bermodalkan hasil penjualan kado pernikahannya dengan Maria Goreti Murniati, lelaki yang biasa dipanggil Mas Wied itu memulai usahanya pada 1980. Hasil penjualan kado itu digunakan untuk membeli mesin obras dan mesin jahit.
Widyarto menggunakan nama gang rumahnya, Caladi 59 -- disingkat C59 -- sebagai merek kausnya. Ini dimaksudkan agar merek tersebut mudah diingat, dan pemesan lebih yakin dengan produk yang ditawarkannya karena alamatnya jelas. Nama itu juga cermin komitmennya pada kaus buatannya. Jika kualitasnya buruk, orang bisa saja langsung menimpuki rumahnya. Layaknya usaha baru yang hanya dibantu tiga karyawan, selain mencari order, ia juga ikut mendesain, memilih bahan, memotong, menjahit, menyablon sampai finishing. Order banyak didapat dari pesanan sekolah atau instansi. Karena banyaknya pesanan dari Jakarta, ia membuka cabang di Jalan Mendawai pada 1982.
Usahanya meningkat ketika ia mendapat pesanan besar dari Nichimen -- perusahaan Jepang yang bergerak di bidang insektisida. Mereka memesan kaus untuk dibagi-bagikan pada para petani. Ordernya, 3 ribu potong/bulan. Semakin lama order yang diterima semakin deras mengalir. Peningkatan omset terasa setelah C59 turut serta dalam kegiatan Air Show 1986 di Jakarta, yang juga diikuti peserta dari beberapa negara lain. T-shirt C59 dibawa pulang oleh para peserta ke negara masing-masing. Ia pun mulai merambah dunia ritel. Di bisnis ini, awalnya Widyarto menjual sisa order yang tidak memenuhi syarat. "Itu kan peluang, kenapa tidak dikembangkan," tandas jebolan Fakultas Ekonomi Universitas Parahyangan ini.
Ketika Bank Niaga memesan t-shirt pada 1993, ia mendapatkan keuntungan ganda. Selain bisa menjual produknya, Robby DJohan yang saat itu menjabat Dirut Bank Niagam, menawarkan pinjaman untuk mengembangkan usaha. "Sebelumnya, boro-boro ada tawaran pinjaman, mau pinjam saja susah," kenang pria kelahiran Banjarmasin, 19 Januari 1956 yang berdarah Jawa ini. Ia menerima tawaran Robby, dan menggunakan pinjaman itu untuk membangun pabrik, di atas tanah seluas 4.000 m2 di Cigadung, Bandung.
Di tahun yang sama, bentuk usaha C59 diubah menjadi PT dengan nama PT Caladi Lima Sembilan. Dan sejak saat itu, Widyarto melibatkan desainer ahli, baik lulusan sekolah desain maupun otodidak. Usahanya pun dibagi menjadi beberapa divisi, yakni Divisi Desain, Pengembangan Produksi, Pemasaran, Pemesanan, Ritel dan Produksi. Pembenahan manajemen ini dilakukan untuk meningkatkan profesionalitas dalam mengelola usahanya.
Usaha ayah dua putra ini terus berkembang. Lokasi usahanya tidak lagi di rumah kecil di Gang Caladi. Ia membeli rumah-rumah di sekelilingnya, yakni rumah di Jalan Tikukur 10, 8, 9, 4 dan 7. Sebagian dijadikan kantor dan showroom produknya. Selain itu, ia mulai membuka showroom di daerah lain, seperti Balikpapan, Bali, Yogya, Makassar, Padang, Lampung, Medan dan Malang (1993/94). Kausnya pun mulai memasuki Ramayana Dept. Store. "Berikan yang terbaik," ia menegaskan kiatnya menggapai sukses.
Pemilihan tema pun selalu disesuaikan dengan perkembangan zaman. Misalnya, I`m Allergic to Work atau Antiteroris. Itulah sebabnya, C59 digemari konsumen. "Kami mengolahnya dengan tipografi yang menarik," kata Ketua Ikatan Sport Harley Davidson Cabang Bandung ini. Ini tentu membutuhkan kreativitas tinggi. Terutama untuk usaha ritelnya, C59 harus mampu membaca keinginan pasar.
Bagi Widyarto, riset desain sangat penting dilakukan karena kekuatan produknya terletak pada rancangan. Apalagi, industri t-shirt tergolong cepat berganti tren. Dengan bersemboyan Beda Gaya, Gaya Gaya Semua, setiap pengeluaran desain harus dipresentasikan di depan komite produk. Setelah desain terpilih, baru dilanjutkan dengan prosesi produksi, pemilihan bahan kain, teknik cetak, warna, dan sebagainya. Teknik cetak yang digunakan pun beragam, mulai dari separasi, sablon metalik, sablon timbul hingga bordir.
Penggalian ide tidak pernah berakhir. Bahkan karyawan pun mendapat kesempatan jalan-jalan untuk mencari ide segar. "Saya sering membiarkan desainer grafis nggak masuk kantor, asal ketika masuk ia sudah bawa ide bagus," ujar pria yang menyukai dunia grafis sejak SMP ini. Desain gambar yang dikembangkan ada 8 tema, meliputi otomotif, umum, sport, musik, Indonesia, smart joke/isu sosial, lingkungan dan Bali. Desain t-shirt yang dikembangkan, antara lain body fit, junior, ladies dan kids, yang merupakan hasil riset bagian pemasaran. Tak heran, jika C59 disebut sebagai galeri desain. Kualitas produk buatan C59 selalu berada dalam pengawasan ketat. Sebelum didistrbusikan pun, produk tersebut harus melalui proses seleksi.
Dalam perkembangannya, C59 juga menjadi konsultan desain untuk instansi. Identitas suatu instansi akan diwujudkan oleh C59 melalui proses diskusi dan analisis matang. Melalui analisis tersebut, C59 merancang berbagai produk yang akan mencerminkan kepribadian instansi itu. Kepribadian suatu instansi dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti, stiker, topi, seragam perusahaan, bendera serta berbagai benda yang dipergunakan sebagai promosi.
Saat ini CLS mempekerjakan 4 ribu orang dan memiliki sekitar 600 gerai di Indonesia. Sementara produknya pun sudah merambah ke Jerman, Slovakia dan Ceko. Tahun lalu produknya masuk ke jaringan Matahari Dept. Store. Seiring meningkatnya permintaan, pabriknya pun diperluas menjadi 1 hektare. Selaras dengan perkembangan usahanya, Widyarto merestrukturisasi organisasi dan usaha. "Ada perubahan dari manufacturing thinking menjadi product dan brand thinking," tambah penerima Upakarti pada 1996 ini.
Bahkan, tahun depan akan dibentuk holding company. Ini dilakukan mengingat makin berkembangnya masing-masing divisi, sehingga akan lebih maksimal jika dipisah menjadi SBU (strategic business unit). Operational plan pun dibuat secara lengkap. Mengingat pentingnya SDM dalam perkembangan bisnisnya, ia lalu membangun Management Trainee Program. Juga, bekerjasama dengan Institut Tehnologi Tekstil dalam pengembangan SDM-nya. "People adalah aset," ia menegaskan.
C59 yang bervisi menjadi perusahaan terkemuka di bidang ritel pakaian kasual dan aksesori pesanan untuk korporat, juga membenahi alur bisnis dan kerja. Sejak 1990, sistem Local Area Network diterapkan, bahkan kini sudah menerapkan program Management Information System. Tak ketinggalan, C59 pun membangun situs web. Melalui situs tersebut, pelanggan bisa memesan kaus dengan desain beragam. "Konsumen bahkan bisa mendesain sendiri," tuturnya. Situs ini menjadi tuntutan jika C59 ingin mengembangkan brand-nya ke luar negeri. Database desain C59 disusun tidak hanya dalam bentuk soft copy, tapi juga hard copy. Kalau konsumen ada yang minta dibuatkan desain lama, C59 bisa mengakses ke database.
C59 termasuk agresif dalam pemasaran. Aktivitas below the line dan above the line dilakukan secara kreatif dan sesuai dengan positioning pasarnya. Untuk membangun brand, Widyarto rela merogoh kantongnya hingga ratusan juta rupiah. Misalnya, bulan ini C59 menjadi sponsor utama Cover Boy Aneka 2001 atau beriklan di TV dan media massa lain dengan tag line: "Express Your Style". Pilihan tag line ini, menurutnya, karena t-shirt adalah media komunikasi yang bisa mengaktualisasi diri sendiri (pemakai) dan situasi yang sedang terjadi.
Belajar dari pendahulunya, Christy Collection yang sempat jaya pada awal 1980-an, ia ingin tetap fokus dalam pengembangan usaha. "Saya rasa mereka kurang fokus," tutur penerima ASEAN Development Excecutive Award 2000-2001 ini. Ia juga belajar dari Dagadu Yogya yang produknya banyak dipalsu. Ia menyadari, produk yang tenar rentan pemalsuan. Untuk itu, ia melakukan langkah preventif sejak awal dengan mematenkan merek dan desain produknya. Juga, mengadakan pendekatan persuasif kepada para pemalsu. Widyarto juga sangat peduli dengan lingkungan di sekitarnya, sehingga keberadaan unit pengolahan limbah menjadi keharusan.
Impian Widyarto menjadikan brand C59 mendunia sepertinya akan terwujud. Tahun ini produk C59 masuk ke Slovak. Bahkan, C59 menjadi sponsor C59 Summer Music Festival in Slovak. "Mereka malah maniak C59," ujarnya bangga.
Alamat: Jl. Tikukur 9, Bandung. Telepon: (022) 2507225. Faksimile: (022) 2507226. Website: www.c59.co.id.

M Yunus dan Grameen Bank

Yunus lahir di Chittagong, dan belajar di Chittagong Collegiate School dan Chittagong College. Kemudian ia melanjutkan ke jenjang Ph.D. di bidang ekonomi di Universitas Vanderbilt pada tahun 1969. Selesai kuliah, ia bekerja di Universitas Chittagong sebagai dosen di bidang ekonomi. Saat Bangladesh mengalami bencana kelaparan pada tahun 1974, Yunus terjun langsung memerangi kemiskinan dengan cara memberikan pinjaman skala kecil kepada mereka yang sangat membutuhkannya. Ia yakin bahwa pinjaman yang sangat kecil tersebut dapat membuat perubahan yang besar terhadap kemampuan kaum miskin untuk bertahan hidup.
Pada tahun 1976, Yunus mendirikan Grameen Bank yang memberi pinjaman pada kaum miskin di Bangladesh. Hinggal saat ini, Grameen Bank telah menyalurkan pinjaman lebih dari 3 miliar dolar ke sekitar 2,4 juta peminjam. Untuk menjamin pembayaran utang, Grameen Bank menggunakan sistem "kelompok solidaritas". Kelompok-kelompok ini mengajukan permohonan pinjaman bersama-sama, dan setiap anggotanya berfungsi sebagai penjamin anggota lainnya, sehingga mereka dapat berkembang bersama-sama.

Keberhasilan model Grameen ini telah menginspirasikan model serupa dikembangkan di dunia berkembang lainnya, dan bahkan termasuk di negara maju seperti Amerika Serikat.

Semoga keberhasilan Muhammad Yunus ini menginspirasi pihak-pihak di Indonesia yang punya kepedulian terhadap usaha mikro ini. Bagaimanapun juga, sektor informal dan UKM ini adalah penyelamat bangsa. Tanpa mengeluh dan meminta-minta, mereka bangkit dan terus tumbuh di tengah-tengah krismon yang melanda Indonesia tahun 1997-1998 lalu. Sementara para konglomerat dengan segala kepintarannya itu berhasil mengelabui pemerintah dan merampok serta melarikan uang rakyat ke luar negeri. Pertanyaannya, siapa yang sebenarnya lebih nasionalis? Para konglomerat besar itu atau para pengusaha mikro itu?

Muhammad Yunus, tanpa banyak bicara telah membuktikan keyakinannya itu.




cocok kalau komunitas TDA bikin Grameen bank, gimana ?
----------------------------
Tuhan adalah Sang Sumber Energi. Energi-Nya tidak memiliki stigma dan prasangka buruk terhadap manusia. Semua akan dibagikan sebanyak yang manusia inginkan dan semampu mereka menampungnya. Tidak ada anak emas. Seorang nabi dapat curahan energi-Nya lebih banyak karena mereka sanggup menerimanya. Seandainya seluruh makhluk di alam semesta ini berlomba mendapatkan curahan energi-Nya, maka energi itu tidaklah akan pernah habis, bahkan tidak berkurang sedikitpun.

Tuhan akan terus menerus menjadi sumber yang melimpah tiada henti. Menyalurkan berbagai bentuk energi positif kepada hamba-Nya. Hanya saja sumber energi positif itu disalurkan melalui proses, yakni melalui 'gardu-gardu perantara' agar kita sanggup menerimanya. "Gardu-gardu perantara' itu adalah kita, manusia yang mendiami bumi ini. Bagi manusia yang ingin mendapatkan kemuliaan dan kebaikan sebanyak mungkin dari Tuhan maka jadilah Gardu Energi Positif (Gardu Epos). Semakin besar Gardu Epos yang kita siapkan, semakin banyak energi yang bisa kita salurkan kepada orang lain. Dan yang pasti, semakin besar Gardu Epos kita maka semakin dekat kita kepada Sang Maha Pencipta.

Salah satu contoh Gardu Epos dunia saat ini adalah M. Yunus. Dia seorang dosen di Bangladesh. Terdorong oleh keprihatinannya dengan kemiskinan di Bangladesh, M. Yunus memberikan pinjaman 20 sen untuk menolong seorang ibu melepaskan diri dari hutang rentenir. Ternyata Ibu yang bernama Sophia Kathon itu lancar mengembalikan pinjaman senilai 20 sen dari M. Yunus.

M. Yunus kemudian memberikan pinjaman untuk 42 orang berikutnya dengan uang sejumlah $27. Keinginan M. Yunus hanya satu, yakni agar orang-orang miskin yang dia tolong bisa berdikari memulai usaha tanpa meminjam uang dari rentenir.

Dengan modal kepercayaan, M.Yunus terus berjuang walaupun orang lain melihatnya sebagai proyek mustahil. Orang-orang di sekitar M.Yunus terus mengatakan "Orang miskin itu tidak bankable. Tidak sanggup menggembalikan pinjaman. Jangan berurusan dengan mereka."

Namun, M.Yunus tak berhenti memberikan pinjaman bagi mereka yang \nmemerlukan. Mulai dengan satu desa, dua desa, sepuluh, lima puluh, hingga seratus desa. Yunus kemudian mulai berpikir untuk lebih menampung banyak orang yang ia tolong dengan mendirikan bank. Walaupun bernama bank, lembaga itu tetap dengan tujuan yang sama yaitu memberikan pinjaman modal bagi golongan menengah ke bawah yang ingin
mengubah hidupnya. Maka berdirilah Grameen Bank. Hanya bermodal awal 20 sen, M. Yunus kini telah memberikan pinjaman di 46.000 desa. Gramen Bank memiliki 1.267 cabang. Bank orang miskin itu mampu menyerap 12.000 pekerja lebih. Grameen Bank telah memberikan pinjaman dengan total Rp 450 trilyun. Pinjaman yang diberikan berkisar antar Rp 120.000 – Rp 150.000 per orang. Orang-orang miskin yang disebut tidak bankable tadi, juga para pengemis bisa meminjam ke Grameen Bank. Bank untuk orang miskin itu telah menyelamatkan jutaan orang dari jeratan rentenir.

'Gardu Epos' M. Yunus semakin membesar dan meningkat karena semakin banyak orang yang mampu memetik manfaat dari kegiatannya. M. Yunus telah membuktikan bahwa dengan 20 sen ia mampu menjadi 'Gardu Epos' dunia. Semakin tinggi 'Gardu Epos' kita semakin mulialah kehidupan kita.

Dengan menjadi 'Gardu Epos' kita akan mampu meraih harta, tahta, kata dan cinta pada tingkatan yang lebih tinggi. Selain itu, dengan menjadi 'Gardu Epos' kita juga akan memperoleh keberkahan dan kemulian hidup.

Jika dengan 20 sen saja M. Yunus bisa menjadi \'Gardu Epos\' dunia yang mampu menolong jutaan orang, itu berarti kita semua juga bisa menjadi gardu epos dunia, tanpa kecuali. Mari, berlomba menjadi gardu epos \ndunia agar kehadiran anda selalu dinanti penduduk bumi dan dicintai penduduk langit.