Minggu, 18 Oktober 2009

Dari Athlet...berbelok ke jualan oli

Siapa tak kenal Rudy Hartono? Atlet bulu tangkis yang satu ini adalah satu-satunya pemain Indonesia yang mampu menjadi juara All England sampai delapan kali. Saking hebatnya di lapangan bulu tangkis, Rudy disebut Wonder Boy alias anak ajaib oleh Herbert A. Schele, almarhum tokoh bulu tangkis dunia. Sementara itu media massa menjulukinya sang Maestro bulu tangkis. Tapi, sedikit yang tahu kalau Rudy Hartono juga piawai di bidang bisnis.
Buktinya, PT Topindo Atlas Asia milik Rudy mendapatkan penghargaan Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) 2001. Dibandingkan dengan produk lainnya —seperti Mesran, Penzoill, Federal, Castrol, Agip, Motul, dan produk oli lainnya yang banyak bertebaran di pasar— distributor oli merek Top 1 ini dinilai berhasil memuaskan para pelanggannya. Sudah barang tentu, penghargaan tersebut membuktikan bintang sang Maestro ini belum pudar. Hanya, kali ini bintangnya tidak lagi di lapangan bulu tangkis, tapi sudah pindah ke lapangan bisnis.
Sukses Rudy di bidang bisnis memang layak diacungi jempol, apalagi kini tak sedikit pensiunan atlet yang terpaksa meratapi nasibnya lantaran tak punya sumber penghasilan. Bagi Rudy sendiri, dunia bisnis sebenarnya bukan dunia baru. Sejak kecil, maestro yang punya nama asli Nio Hap Liang ini sudah terbiasa berurusan dengan dagang. Ayahnya, Zulkarnaen Kurniawan alias Nio Siek In, adalah pemilik klub Surya Naga di kota Surabaya. ”Dari kaos, sepatu olah raga, raket sampai alat olah raga, kita jual,” kenang Rudy.
Tak hanya kaos dan perlengkapan olah raga yang mereka jual, bisnis keluarga Rudy pun sempat berkembang menjadi produsen susu. Produk susu keluarga Rudy ini kabarnya tak hanya dipasarkan di wilayah Surabaya tapi sudah berkembang di Jawa Tengah sampai Jakarta. Sayangnya, perusahaan tersebut kini tak beroperasi lantaran tak ada yang mengurus. ”Semua sudah sibuk dengan bisnisnya masing-masing” kenang Rudy sambil tertawa.
Lantas, mengapa Rudy kembali ke dunia bisnis yang telah lama ditinggalkannya? Adalah Jimmy Zhu, sahabat Rudy sejak 1972, yang mengajaknya berbisnis oli. Ketika itu, lima tahun silam, pemilik Topindo itu mengajaknya berjualan oli impor Top 1. Kendati sibuk berurusan dengan pembinaan bulu tangkis, ajakan itu tak ditampiknya. Bersama mantan atlet bulu tangkis lainnya, Ade Chandra, Rudy pun menerima tawaran untuk bergabung di Topindo.
Rupanya, bintang terang masih menyinari Rudy. Tak butuh waktu lama, Top 1 mulai mengancam kedudukan Mesran Prima. Memang, dari segi volume penjualan, Mesran Prima masih mendominasi pasar. Toh, tak sedikit bengkel yang merekomendasikan Top 1. ”Ini mungkin karena faktor harga yang sedikit lebih mahal ketimbang mereka,” ujar Rudy beralasan. Meski begitu, konon Mesran makin khawatir akan keberadaan dan pemakaian oli Topindo. Tak hanya itu. Produsen oli impor macam Shell, Motul, dan masih banyak lagi mulai blingsatan.
Boleh jadi kiat memasang harga yang relatif miring dibandingkan dengan oli impor lainnya membuat penjualan Top 1 makin melejit. Untuk oli kualitas prima, misalnya, Topindo memasang harga Rp 26.000–Rp 30.000. Jauh lebih murah ketimbang oli impor lainnya yang dipasarkan dengan harga mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per liter. Di saat krisis seperti sekarang, ketika orang makin berhitung soal pengeluaran, Top 1 menjadi lebih kompetitif. ”Ini karena konsumen sekarang mulai peduli harga,” kata Rudy.
Tuduhan penipuan dan pemalsuan bertubi-tubi
Keberhasilan Top 1 di pasaran ternyata di luar perkiraan Rudy. Berbeda dengan oli lainnya, Topindo ternyata tak banyak melakukan promosi agar produknya digemari konsumen. Tanpa gencar gembar-gembor beriklan baik di teve, surat kabar, tabloid, majalah atau radio, konsumen melirik dan memakai produk Topindo. Hanya lewat event atau acara olah raga mobil ataupun motor Top 1 menggebrak pasar. Selain itu, menurut Rudy, pihaknya menggunakan metode pemasaran MLM alias marketing lewat mulut. Uniknya, ini dilakukan bukan oleh bagian marketing dari Topindo, melainkan datang dari konsumen.
Entah lantaran banyak yang iri atau karena sebab lain, berbagai isu pun mula ditebarkan para pesaing Top 1. Pukulan telak menimpa Topindo dan sempat menurunkan volume penjualan. Setahun lalu, misalnya, Topindo harus rela produknya dipalsukan. Untunglah, tak berapa lama persoalan tersebut selesai. Tapi, pukulan lain kembali dilayangkan ke Topindo. Kali ini Top 1 dituduh melakukan penipuan merek dan produksi. Kabar yang menyebutkan bahwa Top 1 merupakan produksi lokal yang diproduksi di Indonesia dan dilabelkan di Singapura kembali meruntuhkan kepercayaan konsumennya.
Isu lainnya menyebutkan bahwa Top 1 tak mempunyai pabrik di negara asalnya, Amerika. ”Padahal pabriknya sendiri ada empat di AS,” ujar Rudy tanpa bersedia menyebutkan volumenya. Seiring berjalannya waktu, tuduhan-tuduhan itu seolah hilang dibawa angin. Kepercayaan terhadap Top 1 pulih kembali. Berdasarkan survei yang dilakukan Topindo di banyak bengkel, Top 1 tetap menjadi salah satu oli yang disukai konsumen.
Sebagai Komisaris Utama Topindo, kini Rudy mulai menikmati buah keberhasilan Top 1. Meski masih kalah ketimbang Mesran, Penzoill, dan Federal, pangsa pasar Top 1 sudah mencapai 10% kebutuhan pelumas nasional. Ini lebih tinggi ketimbang Castrol, Agip, Shell dan Motul yang masih di bawah 5%. ”Padahal masuk pasarnya duluan mereka, lo,” kata Rudy.
Cinta Sejati Juragan Oli
Menjadi pengusaha bukanlah impian Rudy Hartono Kurniawan. Meski sejak kecil sudah akrab dengan dunia usaha, dan bahkan menikah dengan keponakan taipan William Soeryadjaja, Rudy lebih menyukai bulu tangkis. Tak heran, selama perjalanan kariernya Rudy mencurahkan waktu dan perhatian untuk olah raga yang satu ini. Mulai dari menjadi atlet, pembina, sampai mendirikan klub Jaya Raya yang menampung atlet berbakat di bulu tangkis.
Saking cintanya terhadap olah raga bulu tangkis, anak ketiga dari delapan bersaudara keluarga Zulkarnaen Kurniawan ini tak mau setengah-setengah menjalaninya. Disiplin serta ketekunannya telah membuahkan banyak hasil. Lantaran sering menjadi juara, namanya pun terukir di Guinnes Book of Record sebagai juara All England delapan kali. Tak hanya itu, pria kelahiran Surabaya 52 tahun lalu ini juga menerima penghargaan Diplome D’Honneur dari Unesco, penghargaan tertinggi di bidang olah raga.
Tapi, setelah bertahun-tahun setia dengan bulu tangkis, iman Rudy pun mulai tergoda untuk terjun ke dunia bisnis oli impor. Dari sekian produk oli impor, pilihannya jatuh ke Top 1. Seolah ingin menjadikan Top 1 seperti perjalanan kariernya yang selalu menjadi juara satu, Rudy pun tak mau tanggung-tanggung menekuninya. Tanyalah dirinya tentang oli, sederet kalimat bakal keluar dari mulutnya. Mulai dari urusan ganti oli sampai bahan oli ada di kepalanya. ”Untuk menjadi sukses, kenali produk sedetil mungkin. Jangan ada yang terlewat,” katanya.
Kini, Rudy sedikit bisa bersantai lantaran cita-citanya untuk membawa Top 1 menjadi top mulai menampakkan hasil. ”Ini semua anugerah dari Tuhan,” katanya. Sayang, bintangnya sebagai artis film kurang begitu bersinar. Asal tahu saja, Rudy pernah menjadi pemain film. Filmnya, yang dimainkan bersama perancang Poppy Dharsono, ternyata kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Entah kapok atau karena sebab lain, yang jelas sejak itu ia tak pernah muncul lagi di dunia film. ”Terlalu banyak waktu yang dibutuhkan,” kata Rudy.
Meski telah sukses di dunia usaha, kecintaannya terhadap olah raga bulu tangkis ternyata tidak pernah padam sedikit pun. Selain sibuk berbisnis, sebagai duta UNDP, ia terus mencari anak-anak yang punya bakat di bidang olah raga bulu tangkis. Tak heran bila Rudy harus turun ke jalan atau gang-gang sempit hanya untuk mencari bibit baru. ”Siapa tahu, kelak ada calon maestro lainnya,” ujar Rudy

Tidak ada komentar: