Senin, 19 Oktober 2009

Dari Arang sampai Helikopter

Tahukah Anda bahwa sejarah kewirausahaan di tanah air telah dimulai jauh sebelum peristiwa kemerdekaan, bahkan telah ada sejak zaman

bahari dahulu kala, ditandai dengan kegiatan perdagangan yang

dilakukan para pedagang dan pelaut Indonesia di seputar Asia Tenggara

sampai ke pulau Madagaskar di Afrika.



Di bawah ini adalah kisah wirausahawan Indonesia angkatan abad lalu,

Abdul Ghany Aziz, yang kaya akan nilai-nilai keteladanan serta sangat

memberikan inspirasi yang tak terukur harganya, terutama bagi kita

yang ingin menelusuri apa dan bagaimana sesungguhnya dunia

kewirausahaan itu. Beberapa butir dari keteladanan dimaksud, bukan

tidak mungkin akan memberi dorongan kepada kaum muda Indonesia untuk

mulai mengambil ancang-ancang terjun ke dunia wirausaha:



. Semangat Pantang Menyerah: Ghany mengalami kebangkrutan

secara bertubi-tubi, entah berapa jumlah uangnya yang dipakai sebagai

modal usaha ternyata harus amblas tanpa bekas. Namun demikian,

kejadian-kejadian semacam itu ternyata tidak membuatnya jera untuk

berbisnis, bahkan bagaikan harimau luka, ia justru makin meningkatkan

intensitas usahanya sedemikian rupa, sampai pada akhirnya dapat

meraih sukses. Semangat pantang menyerah seperti ini perlu sekali

untuk dimiliki dan dijiwai oleh kalangan muda Indonesia, agar mereka

tidak terbentuk menjadi generasi cengeng, yang selalu ingin hidup

enak di bawah berbagai fasilitas milik orang tua atau pihak-pihak

lain.

. Tidak Bergantung Pada Modal Uang: Para pemuda dan calon

pengusaha Indonesia masa kini selalu saja merasa bahwa faktor

ketersediaan modal uang, merupakan kendala utama yang menghambat niat

mereka untuk berusaha. Pada berbagai program kemitraan antara

pengusaha besar dan pengusaha kecil yang dicanangkan pemerintah, para

pengusaha kecil tersebut hanya mengharapkan realisasi bantuan

keuangan belaka, dan tidak mau tahu dan tidak peduli akan pentingnya

faktor-faktor lain seperti motivasi, keuletan, inovasi cara berpikir,

konsep usaha yang jelas serta faktor manajerial. Abdul Ghany justru

memperlihatkan secara gamblang, bahwa faktor modal keuangan bukanlah

faktor utama yang harus menghalangi seseorang untuk memulai usaha.

Ia hanya mengandal pada kepercayaan, dan ia berhasil. Saya sangat

yakin bahwa sebenarnya faktor-faktor non keuangan justru lebih

penting dalam berbisnis, dari pada faktor ketersediaan modal uang.

. Faktor Usia Bukan Penghalang: Seperti diperlihatkan oleh

Ghany, umur seseorang tidaklah merupakan halangan untuk seseorang

bekerja dan berusaha. Tidak ada istilah masih terlalu muda, atau

sebaliknya tidak ada istilah sudah terlalu tua dalam berwirausaha.

Ia sendiri memulai debutnya pada usia 11 tahun, mengalami berbagai

kegagalan sampai usia 52 tahun dan pada usia 84 tahun memulai kembali

kiprahnya sebagai wirausaha yang harus memimpin perusahaan besar

dengan ratusan orang karyawan.

. Semangat Patriotisme: Pada masa penjajahan, menjadi

pengusaha mungkin bisa menyebabkan seseorang lupa akan kodratnya

sebagai anak bangsa yang harus berjuang merebut kemerdekaan. Akan

tetapi, Ghany dan banyak pengusaha pribumi lain, tidak demikian.

Mereka tetap berkontribusi pada perjuangan, sesuai dengan

kapasitasnya sebagai wirausahawan, meski untuk itu mereka harus

banyak berkorban. Ghany telah membuktikan bahwa ia rela kehilangan

perusahaan dan harta bendanya karena dukungannya kepada perjuangan

kemerdekaan bangsa.





ABDUL GHANY AZIZ -- Firma Kiagoos dan PT Masayu



Tokoh ini dilahirkan pada tanggal 28 November 1893. Keturunan

Sumatera Selatan (Palembang) tapi dilahirkan di Betawi atau Jakarta.

Dalam bidang kewirausahaan, Abdul Ghany termasuk beruntung karena ia

mempunyai tokoh panutan, yaitu ayahnya sendiri. Sang ayah, Kiagoos

Abdul Aziz, adalah seorang pedagang besar yang bergerak dalam jual

beli hasil-hasil pertanian. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila

naluri dagang Abdul Ghany begitu dominan. Meski pendidikannya hanya

sebatas Sekolah Dasar (HIS = Hollands Inlandsche School) yang tidak

tamat pula, kehidupannya justru sangat sukses melalui dunia usaha.



Karirnya dimulai sejak kecil, sekitar usia 11 tahun ia telah mulai

membantu sang ayah, pemilik perusahaan Firma Kiagoos Abdul Aziz &

Co. Di sini Abdul Ghany dididik sangat keras dalam praktik

berusaha. Meski bekerja dengan ayah sendiri, ia harus memulai

segalanya dari bawah. Mula-mula sebagai penjaga gudang, untuk

meningkat sedikit demi sedikit, sebelum mendapat lampu hijau dari

sang ayah untuk membangun dan mengelola usahanya sendiri.



Sayangnya, jalan hidup Abdul Ghany memang berada pada tahun-tahun

yang keras. Tahun 1914 sampai 1918 meletus Perang Dunia I.

Pengaruhnya cukup dahsyat atas kondisi perekonomian dunia, termasuk

di Indonesia. Daya beli masyarakat anjlok, sedang barang dagangan

menjadi langka. Sekitar tahun 1922, Abdul Ghany mengelola cabang

Firma Kiagoos di Palembang. Namun karena dampak perang terus menerus

menyebabkan kesulitan ekonomi, akhirnya perusahaan ini tutup karena

bangkrut. Dan Ghany pun memutuskan untuk hijrah ke Singapura,

mencari pekerjaan.



Ia menghabiskan waktu sekitar 2 - 3 tahun di negeri Singa untuk

bekerja sebagai pembantu di sebuah rumah makan, sambil juga berusaha

dengan jalan menjadi pedagang perantara valuta asing (dolar) bagi

para pedagang Indonesia yang datang ke sana. Saat terjadinya

pemberontakan komunis di Indonesia tahun 1927, ia pulang ke tanah

air, dan kembali mencoba berbisnis dalam bidang hasil pertanian di

Sumatera Selatan, yang antara lain meliputi kopi, rotan dan karet.



Ghany sangat idealis dan pemberani. Ia tidak takut untuk bersaing

dengan pedagang-pedagang Cina yang menguasai jaringan perdagangan di

bidang itu. Untuk memenangkan persaingan, tidak tanggung-tanggung ia

membayar lebih dahulu harga hasil bumi yang masih dalam masa tanam,

kepada para petani. Ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk

memenuhi permintaan para kliennya, para eksportir.



Namun apa mau dikata. Musim hujan yang berkepanjangan menghancurkan

segalanya, mulai dari persawahan petani yang tidak bisa lagi di

panen, sampai harapan Ghany yang melihat dengan sayu betapa para

petani itu tidak mampu memenuhi kewajiban untuk memasok hasil

pertanian yang telah ia bayar di muka. Maka, lagi-lagi bangkrutlah

ia.



Demikianlah perjuangan tokoh wirausaha ini berlanjut terus di bawah

tekanan penderitaan bertubi-tubi. Ia konsisten dengan pendiriannya

untuk selalu berada di jalur wirausaha, meski kenyataan pahit selalu

membayangi. Tekanan datang dari pemerintah Belanda, yang antara lain

telah memberlakukan peraturan pajak diskriminatif, di mana para

pengusaha pribumi harus membayar jauh lebih besar dibanding kewajiban

yang dikenai pada para pengusaha Belanda. Di samping itu, tekanan

juga datang dari persaingannya dengan jaringan usaha kaum pedagang

keturunan, yang dengan perkumpulan-perkumpulannya tidak segan untuk

melancarkan strategi doping (menjatuhkan harga). Dengan doping

tersebut, banyak perusahaan-perusahaan pribumi yang harus gulung

tikar, dan kendali harga sepenuhnya dipegang kembali oleh kaum

pedagang keturunan.



Tahun 1939, Ghany beserta dua rekan masing-masing Ayub Rais dan

Dasaad, mendirikan sebuah perusahaan yang dinamakan Malaya Import.

Perusahaan ini bergerak dalam bidang penjualan tekstil, yang diimpor

dari Jepang.



Tahun 1940, satu lagi perusahaannya didirikan, kali ini bernama Firma

Kiagoos Brothers bersama-sama Dasaad. Perusahaan tersebut juga

berkiprah dalam penjualan tekstil. Sebuah pabrik tekstil milik

Belanda yang dibeli di Bangil, menjadi tumpuan harapan mereka untuk

meraih sukses.



Akan tetapi, baru saja perusahaan ini mau tinggal landas, tentara

pendudukan Jepang datang, dan merampas habis semua komoditas yang

mereka miliki. Dan sekali lagi, buyarlah harapan Ghany untuk dapat

mencapai cita-citanya yang tinggi di dunia usaha. Meski begitu,

Ghany tidak pernah berputus asa. Dengan sisa-sisa sumber daya yang

masih dimiliki, ia melanjutkan usahanya dengan berdagang produk-

produk pertanian seperti kopi dan teh. Di tahun 1943, ia bahkan

masih bisa mendirikan sebuah badan usaha lagi, yang diberi nama

Masayu Trading Company. Nama Masayu berasal dari nama isterinya,

Masayu Zaleha.



Masayu Trading Coy berkantor di Bandung, tepatnya di Jalan Tamblong.

Pada awalnya perusahaan ini menunjukkan perkembangan yang sangat

baik, sehingga kantornya selalu diliputi oleh kesibukan setiap hari.



Sementara itu, setelah Jepang menyerah kepada pihak Sekutu, timbul

gerakan-gerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai putra

bangsa, biar bagaimana, Ghany mendukung perjuangan kaum pemuda dalam

usaha merebut kemerdekaan. Oleh karena itu, di kantornya yang luas,

ia menampung kegiatan-kegiatan Kantor Berita "Antara" yang berfungsi

sebagai corong perjuangan, serta mengakomodasikan pula kegiatan-

kegiatan kaum pemuda untuk siap berperang melawan tentara Belanda

yang membonceng tentara Sekutu. Pada akhirnya, kegiatan ini tercium

oleh tentara Inggeris, sehingga dalam suatu penggerebekan yang

dilakukan tentara Gurkha, kantor Masayu Trading Coy rusak berantakan,

semua komoditas pertaniannya juga habis hancur luluh atau dirampas.

Kejadian yang merupakan bagian dari peristiwa Bandung Lautan Api itu,

menyebabkan Ghany bangkrut sekali lagi.



Setelah itu, sehubungan dengan situasi negeri yang memanas dan tidak

menentu akibat meletusnys perang kemerdekaan, Ghany mau tidak mau

juga ikut terdampar ke sana ke mari. Mula-mula ia mengungsi ke

Tasikmalaya. Di kota ini, naluri bisnisnya membuat ia menjalankan

usaha di bidang kerajinan tangan khas daerah Jawa Barat seperti

payung geulis, anyaman bambu dan lain-lain.



Pengungsiannya berlanjut ke kota Yogyakarta, karena situasi perang

yang semakin gawat. Di kota gudeg, lagi-lagi ia menjalankan bisnis,

kali ini dalam bidang penjualan arang. Yang menarik adalah, usahanya

pada waktu itu, sama sekali tidak bermodalkan uang. Uang menjadi

langka pada masa perang. Oleh sebab itu, modalnya hanyalah

kepercayaan. Ia mengambil arang dari kota Purworejo, untuk kemudian

diangkut dengan kereta api ke Yogya, dan dijual di sana. Baru

setelah laku, ia bayar hutangnya kepada pemilik barang.



Meski berjalan cukup baik, namun pendapatannya di bidang bisnis arang

tersebut tidaklah terlalu menggembirakan. Maka pada tahun 1949,

Ghany kembali ke Jakarta. Dengan hanya bermodal dengkul, ia putuskan

untuk memulai lagi bisnisnya sama sekali dari nol. Ia tidak punya

uang. Oleh sebab itu, ia mengandal pada kepercayaan orang lain serta

semangat kewirausahaan yang pantang mundur. Ditemuinya beberapa

pemilik produk tekstil serta barang-barang kelontong lainnya di

daerah Jakarta Kota, dan ia tawarkan sebuah program kerja sama

penjualan atas barang-barang dagangan tersebut.



Para pemilik produk yang terdiri dari orang-orang keturunan India dan

Cina itu merasa terkesan dengan sikap Ghany yang jujur dan penuh

semangat, sehingga mereka setuju dengan program kerja sama yang

ditawarkan Ghany. Maka singkatnya. jadilah Ghany juru pemasar barang-

barang dagangan milik para taukeh di Jakarta. Dari kerja sama

perdagangan ini, Ghany mulai mendapat sukses, dan perlahan-lahan ia

bisa mengumpulkan sejumlah uang.



Atas anjuran seorang rekan, Rahman Tamin, Ghany mulai menimbang-

nimbang untuk mengaktifkan kembali perusahaan miliknya dulu, yaitu

Masayu. (Dasaad dan Rahman Tamin adalah orang-orang yang dekat

dengan Ghany, dan keduanya juga merupakan pengusaha-pengusaha besar

serta kenamaan di Indonesia masa itu. Mereka termasuk Wirausahawan

Indonesia Generasi I).



Akhirnya, pertimbangannya menjadi kenyataan. Dengan berbekal

sejumlah uang hasil kerja sama dengan para taukeh di Kota, Ghany

menghidupkan kembali Masayu, dan langsung menggebrak dalam bidang

penjualan tekstil. Ia kerahkan semua tenaga, kemampuan dan strategi

dagang yang dimiliki, demi masa depan yang lebih menjanjikan.

Ternyata, nasibnya kali ini cukup baik, sedikit demi sedikit

perusahaannya memperoleh kemajuan, sampai satu saat ia merasa perlu

untuk mencari mitra di luar negeri. Ia tidak mau terus menerus

bergantung kepada Dasaad dengan perusahaannya Gindo and Dasaad

Concern, yang meminjamkan Surat Ijin Ekspor kepadanya.



Tanpa bekal kemampuan berbahasa Belanda sama sekali, Ghany pergi ke

Negeri Belanda. Untung ia berjumpa dengan orang Jerman yang fasih

berbahasa Indonesia, yang kebetulan pula merupakan seorang pimpinan

perusahaan alat-alat pertanian keluaran Jerman. Bersama orang

tersebut, Ghany berhasil menjalin kerja sama untuk mengageni produk

peralatan pertanian di Indonesia, dengan merek Carl Schlieper.



Demikianlah Abdul Ghany Aziz, pada akhirnya mendapatkan jalan lurus

menuju kesuksesan setelah kepergiannya ke Negeri Belanda serta

perjumpaannya dengan orang Jerman yang menjadi mitra bisnisnya.

Dengan usaha yang tidak kenal menyerah, ia berhasil mendapatkan order

dari Departemen Pertanian untuk pengadaan alat-alat bertani. Dari

situ ia juga berhasil meningkatkan penjualannya kepada berbagai pihak

lain.



Meski awal kiprahnya menjadi agen Carl Schlieper mendapat masalah

tuntutan hak paten dari sebuah perusahaan Belanda yang bernama Java

Staal, namun Ghany berhasil mengatasi masalah tersebut dengan bantuan

perusahaan Carl Schlieper sendiri yang terjun langsung ke

Pengadilan. Demikian juga pada saat berikutnya, ketika orang-orang

dan perusahaan-perusahaan Belanda yang tidak senang dengan sepak

terjangnya membuat ulah macam-macam, ia juga berhasil mengatasinya

dengan baik. Bahkan pada akhirnya, beberapa pengusaha Belanda

memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan tokoh kita yang amat

ulet ini.



Setelah berbagai peristiwa itu berlalu, Abdul Ghany Aziz makin

membakukan dirinya sebagai pengusaha yang tangguh. Ia pergi ke

Amerika untuk mengambil keagenan berbagai produk penunjang pertanian,

antara lain menjadi agen traktor dan buldozer. Perusahaannya, Masayu

dan Kiagoos terus tumbuh kokoh dengan berbagai kantor cabangnya di

kota-kota besar di Indonesia, lengkap dengan ratusan orang karyawan

yang siap bekerja keras. Ia bahkan juga berhubungan dengan sebuah

perusahaan asing, Bristow Ltd., untuk mengageni produk helikopter

dari perusahaan tersebut. Maka muncullah PT Bristow Masayu

Helicopters yang berkantor di Jl. Jend. Sudirman Jakarta.



Sosok Abdul Ghany adalah sosok pekerja keras yang pantang menyerah.

Ia baru menyatakan diri pensiun saat usianya mencapai 71 tahun,

ketika ia merasa yakin bahwa fungsinya sebagai pimpinan dapat

didelegasikan kepada para manajer profesional. Itu pun ia koreksi

setelah mendapatkan kenyataan bahwa korupsi merajalela di dalam

perusahaan, beberapa tahun setelah ia tinggalkan.



Banyak orang kemudian tercengang bahwa ada seorang wirausahawan yang

pada usia 84 tahun, kembali aktif memimpin perusahaan besar dengan

ratusan karyawan di bawahnya. Itulah Abdul Ghany Aziz pada tahun 1977

Tidak ada komentar: