Rabu, 21 Oktober 2009

DIBALIK KISAH SUKSES PEMILIK PESONA KHAYANGAN & PESONA DEPOK

DIBALIK KISAH SUKSES PEMILIK PESONA KHAYANGAN & PESONA DEPOK

Fauzi Saleh, contoh seorang pengusaha sukses sekaligus dermawan. Ini berkat kompak dengan karyawannya. Derai tawa dan langgam bicaranya khas betawi. Itulah gaya H. Fauzi Saleh dalam meladeni tamunya.

Pengusaha perumahan mewah Pesona Depok dan Pesona Khayangan yang hanya lulusan SMP tersebut memang lahir dan dibesarkan di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Setamat dari SMP pada tahun 1966, beliau telah merasakan kerasnya kehidupan di ibukota.

Saat itu Fauzi terpaksa bekerja sebagai pencuci mobil di sebuah bengkel dengan gaji Rp 700 per minggu. Bahkan delapan tahun silam, dia masih dikenal sebagai penjaga gudang di sebuah perusahaan. Tapi, kehidupan ibarat roda yang berputar.

Sekarang posisi ayah 6 anak yang berusia 45 tahun ini sedang berada di atas. Pada hari ulang tahunnya itu, pria bertubuh kecil ini memberikan 50 unit mobil kepada 50 dari sekitar 100 karyawan tetapnya. Selain itu para karyawan tetap dan sekitar 2.000 buruh mendapat bonus sebulan gaji. Total Dalam setahun, karyawan dan buruhnya mendapat 22 kali gaji sebagai tambahan, 3 bulan gaji saat Idul Fitri, 2 bulan gaji saat bulan Ramadhan dan Hari Raya Haji, dan 1 bulan gaji saat 17 Agustus, tahun baru dan hari ulang tahun Fauzi. Selain itu, setiap karyawan dan buruh mendapat Rp 5.000 saat selesai shalat Jumat dari masjid miliknya di kompleks perumahan Pesona Depok.

Sikap dermawan ini tampaknya tak lepas dari pandangan Fauzi, yang menilai orang-orang yang bekerja padanya sebagai kekasih. "Karena mereka bekerjalah saya mendapat rezeki.", katanya.

Manajemen kasih sayang yang diterapkan Fauzi ternyata ampuh untuk memajukan perusahaan. Seluruh karyawan bekerja bahu-membahu.

"Mereka seperti bekerja di perusahaan sendiri." Katanya.

Prinsip manajemen "Bismillah" itu telah dilakukan ketika mulai berusaha pada tahun 1989 silam, yaitu setelah dia berhenti bekerja sebagai petugas keamanan. Berbekal uang simpanan dari hasil ngobyek sebagai tukang taman, sebesar 30 juta, beliau kemudian membeli tanah 6 x 15 meter sekaligus membangun rumah di jalan jatipadang, jakarta selatan.

Untuk menyiapkan rumah itu secara utuh diperlukan tambahan dana sebesar 10 juta. Meski demikian, Fauzi tidak berputus asa. Setiap malam jumat, Fauzi dan pekerjanya sebanyak 12 orang, selalu melakukan wirid Yasiin, zikir dan memanjatkan doa agar usaha yang sedang mereka rintis bisa berhasil.

Mungkin karena usaha itu dimulai dengan sikap pasrah, rumah itupun siap juga. Nasib baik memihak Fauzi. Rumah yang beliau bangun itu laku Rp 51 juta. Uang hasil penjualan itu selanjutnya digunakan untuk membeli tanah, membangun rumah, dan menjual kembali. Begitu seterusnya, hingga pada 1992 usaha Fauzi membesar. Tahun itu, lewat PT. Pedoman Tata Bangun yang beliau dirikan, Fauzi mulai membangun 470 unit rumah mewah Pesona Depok 1 dan dilanjutkan dengan 360 unit rumah pesona Depok 2.

Selanjutnya dibangun pula Pesona Khayangan yang juga di Depok. Kini telah dibangun Pesona Khayangan 1 sebanyak 500 unit rumah dan pesona khayangan 2 sebanyak 1100 unit rumah. Sedangkan pesona khayangan 3 dan 4 masih dalam tahap pematangan tanah.

Harga rumah group pesona milik Fauzi tersebut antara 200 juta hingga 600 juta per unit. Yang menarik tradisi pengajian setiap malam jumat yang dilakukannya sejak awal, tidak ditinggalkan. Sekali dalam sebulan, dia menggelar pengajian akbar yang disebut dengan pesona dzikir yang dihadiri seluruh buruh, keluarga dan kerabat di komplek pesona khayangan pertengahan september lalu, ada sekitar 4.000 orang yang hadir. Setiap orang yang hadir mendapatkan sarung dan 3 stel gamis untuk shalat. Setelah itu, ketika beranjak pulang, setiap orang tanpa kecuali, diberi nasi kotak dan uang Rp 10.000. tidak mengherankan, suasana berlangsung sangat akrab. Mereka saling bersalaman dan berpelukan. Tidak ada perbedaan antara bawahan dan atasan.

Menurut Fauzi, beliau sendiri tidak pernah membayangkan akan menjadi> seperti ini.

"Ini semua dari Alloh. Saya tidak ada apa2nya." Kata pria yang sehari-hari berpenampilan sederhana ini. Karena menyadari bahwa semua harta itu pemberian Alloh, Fauzi tidak lupa mengembalikannya dalam bentuk infak dan shadaqoh kepada yang membutuhkan. Tercatat, beberapa masjid telah dia bangun dan sejumlah kaum dhuafa dan janda telah disantuninya. Usaha yang dijalankannya tersebut, menurut Fauzi ibarat menanam padi.

"Dengan bertanam padi, rumput dan ilalang akan tumbuh. Ini berbeda kalaukita bertanam rumput, padi tidak akan tumbuh". Kata Fauzi.

Artinya, Fauzi tidak menginginkan hasil usaha untuk dirinya sendiri.

"Saya hanya mengambil, sekedarnya, selebihnya digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan sosial." Katanya.

Sekitar 60 % keuntungan digunakan untuk kegiatan sosial, sedangkan selebihnya dipakai sebagai modal usaha. Sejak empat tahun lalu, ada Rp 70 milyar yang digunakan untuk kegiatan sosial.

"Jadi, keuntungan perusahaan ini adalah nol." Kata Fauzi.

" Jika setiap bangun pagi , kita bisa mensyukuri dengan tulus apa yang telah kita miliki hari ini, niscaya sepanjang hari kita bisa menikmati hidup ini dengan bahagia"

Senin, 19 Oktober 2009

Dari Arang sampai Helikopter

Tahukah Anda bahwa sejarah kewirausahaan di tanah air telah dimulai jauh sebelum peristiwa kemerdekaan, bahkan telah ada sejak zaman

bahari dahulu kala, ditandai dengan kegiatan perdagangan yang

dilakukan para pedagang dan pelaut Indonesia di seputar Asia Tenggara

sampai ke pulau Madagaskar di Afrika.



Di bawah ini adalah kisah wirausahawan Indonesia angkatan abad lalu,

Abdul Ghany Aziz, yang kaya akan nilai-nilai keteladanan serta sangat

memberikan inspirasi yang tak terukur harganya, terutama bagi kita

yang ingin menelusuri apa dan bagaimana sesungguhnya dunia

kewirausahaan itu. Beberapa butir dari keteladanan dimaksud, bukan

tidak mungkin akan memberi dorongan kepada kaum muda Indonesia untuk

mulai mengambil ancang-ancang terjun ke dunia wirausaha:



. Semangat Pantang Menyerah: Ghany mengalami kebangkrutan

secara bertubi-tubi, entah berapa jumlah uangnya yang dipakai sebagai

modal usaha ternyata harus amblas tanpa bekas. Namun demikian,

kejadian-kejadian semacam itu ternyata tidak membuatnya jera untuk

berbisnis, bahkan bagaikan harimau luka, ia justru makin meningkatkan

intensitas usahanya sedemikian rupa, sampai pada akhirnya dapat

meraih sukses. Semangat pantang menyerah seperti ini perlu sekali

untuk dimiliki dan dijiwai oleh kalangan muda Indonesia, agar mereka

tidak terbentuk menjadi generasi cengeng, yang selalu ingin hidup

enak di bawah berbagai fasilitas milik orang tua atau pihak-pihak

lain.

. Tidak Bergantung Pada Modal Uang: Para pemuda dan calon

pengusaha Indonesia masa kini selalu saja merasa bahwa faktor

ketersediaan modal uang, merupakan kendala utama yang menghambat niat

mereka untuk berusaha. Pada berbagai program kemitraan antara

pengusaha besar dan pengusaha kecil yang dicanangkan pemerintah, para

pengusaha kecil tersebut hanya mengharapkan realisasi bantuan

keuangan belaka, dan tidak mau tahu dan tidak peduli akan pentingnya

faktor-faktor lain seperti motivasi, keuletan, inovasi cara berpikir,

konsep usaha yang jelas serta faktor manajerial. Abdul Ghany justru

memperlihatkan secara gamblang, bahwa faktor modal keuangan bukanlah

faktor utama yang harus menghalangi seseorang untuk memulai usaha.

Ia hanya mengandal pada kepercayaan, dan ia berhasil. Saya sangat

yakin bahwa sebenarnya faktor-faktor non keuangan justru lebih

penting dalam berbisnis, dari pada faktor ketersediaan modal uang.

. Faktor Usia Bukan Penghalang: Seperti diperlihatkan oleh

Ghany, umur seseorang tidaklah merupakan halangan untuk seseorang

bekerja dan berusaha. Tidak ada istilah masih terlalu muda, atau

sebaliknya tidak ada istilah sudah terlalu tua dalam berwirausaha.

Ia sendiri memulai debutnya pada usia 11 tahun, mengalami berbagai

kegagalan sampai usia 52 tahun dan pada usia 84 tahun memulai kembali

kiprahnya sebagai wirausaha yang harus memimpin perusahaan besar

dengan ratusan orang karyawan.

. Semangat Patriotisme: Pada masa penjajahan, menjadi

pengusaha mungkin bisa menyebabkan seseorang lupa akan kodratnya

sebagai anak bangsa yang harus berjuang merebut kemerdekaan. Akan

tetapi, Ghany dan banyak pengusaha pribumi lain, tidak demikian.

Mereka tetap berkontribusi pada perjuangan, sesuai dengan

kapasitasnya sebagai wirausahawan, meski untuk itu mereka harus

banyak berkorban. Ghany telah membuktikan bahwa ia rela kehilangan

perusahaan dan harta bendanya karena dukungannya kepada perjuangan

kemerdekaan bangsa.





ABDUL GHANY AZIZ -- Firma Kiagoos dan PT Masayu



Tokoh ini dilahirkan pada tanggal 28 November 1893. Keturunan

Sumatera Selatan (Palembang) tapi dilahirkan di Betawi atau Jakarta.

Dalam bidang kewirausahaan, Abdul Ghany termasuk beruntung karena ia

mempunyai tokoh panutan, yaitu ayahnya sendiri. Sang ayah, Kiagoos

Abdul Aziz, adalah seorang pedagang besar yang bergerak dalam jual

beli hasil-hasil pertanian. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila

naluri dagang Abdul Ghany begitu dominan. Meski pendidikannya hanya

sebatas Sekolah Dasar (HIS = Hollands Inlandsche School) yang tidak

tamat pula, kehidupannya justru sangat sukses melalui dunia usaha.



Karirnya dimulai sejak kecil, sekitar usia 11 tahun ia telah mulai

membantu sang ayah, pemilik perusahaan Firma Kiagoos Abdul Aziz &

Co. Di sini Abdul Ghany dididik sangat keras dalam praktik

berusaha. Meski bekerja dengan ayah sendiri, ia harus memulai

segalanya dari bawah. Mula-mula sebagai penjaga gudang, untuk

meningkat sedikit demi sedikit, sebelum mendapat lampu hijau dari

sang ayah untuk membangun dan mengelola usahanya sendiri.



Sayangnya, jalan hidup Abdul Ghany memang berada pada tahun-tahun

yang keras. Tahun 1914 sampai 1918 meletus Perang Dunia I.

Pengaruhnya cukup dahsyat atas kondisi perekonomian dunia, termasuk

di Indonesia. Daya beli masyarakat anjlok, sedang barang dagangan

menjadi langka. Sekitar tahun 1922, Abdul Ghany mengelola cabang

Firma Kiagoos di Palembang. Namun karena dampak perang terus menerus

menyebabkan kesulitan ekonomi, akhirnya perusahaan ini tutup karena

bangkrut. Dan Ghany pun memutuskan untuk hijrah ke Singapura,

mencari pekerjaan.



Ia menghabiskan waktu sekitar 2 - 3 tahun di negeri Singa untuk

bekerja sebagai pembantu di sebuah rumah makan, sambil juga berusaha

dengan jalan menjadi pedagang perantara valuta asing (dolar) bagi

para pedagang Indonesia yang datang ke sana. Saat terjadinya

pemberontakan komunis di Indonesia tahun 1927, ia pulang ke tanah

air, dan kembali mencoba berbisnis dalam bidang hasil pertanian di

Sumatera Selatan, yang antara lain meliputi kopi, rotan dan karet.



Ghany sangat idealis dan pemberani. Ia tidak takut untuk bersaing

dengan pedagang-pedagang Cina yang menguasai jaringan perdagangan di

bidang itu. Untuk memenangkan persaingan, tidak tanggung-tanggung ia

membayar lebih dahulu harga hasil bumi yang masih dalam masa tanam,

kepada para petani. Ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk

memenuhi permintaan para kliennya, para eksportir.



Namun apa mau dikata. Musim hujan yang berkepanjangan menghancurkan

segalanya, mulai dari persawahan petani yang tidak bisa lagi di

panen, sampai harapan Ghany yang melihat dengan sayu betapa para

petani itu tidak mampu memenuhi kewajiban untuk memasok hasil

pertanian yang telah ia bayar di muka. Maka, lagi-lagi bangkrutlah

ia.



Demikianlah perjuangan tokoh wirausaha ini berlanjut terus di bawah

tekanan penderitaan bertubi-tubi. Ia konsisten dengan pendiriannya

untuk selalu berada di jalur wirausaha, meski kenyataan pahit selalu

membayangi. Tekanan datang dari pemerintah Belanda, yang antara lain

telah memberlakukan peraturan pajak diskriminatif, di mana para

pengusaha pribumi harus membayar jauh lebih besar dibanding kewajiban

yang dikenai pada para pengusaha Belanda. Di samping itu, tekanan

juga datang dari persaingannya dengan jaringan usaha kaum pedagang

keturunan, yang dengan perkumpulan-perkumpulannya tidak segan untuk

melancarkan strategi doping (menjatuhkan harga). Dengan doping

tersebut, banyak perusahaan-perusahaan pribumi yang harus gulung

tikar, dan kendali harga sepenuhnya dipegang kembali oleh kaum

pedagang keturunan.



Tahun 1939, Ghany beserta dua rekan masing-masing Ayub Rais dan

Dasaad, mendirikan sebuah perusahaan yang dinamakan Malaya Import.

Perusahaan ini bergerak dalam bidang penjualan tekstil, yang diimpor

dari Jepang.



Tahun 1940, satu lagi perusahaannya didirikan, kali ini bernama Firma

Kiagoos Brothers bersama-sama Dasaad. Perusahaan tersebut juga

berkiprah dalam penjualan tekstil. Sebuah pabrik tekstil milik

Belanda yang dibeli di Bangil, menjadi tumpuan harapan mereka untuk

meraih sukses.



Akan tetapi, baru saja perusahaan ini mau tinggal landas, tentara

pendudukan Jepang datang, dan merampas habis semua komoditas yang

mereka miliki. Dan sekali lagi, buyarlah harapan Ghany untuk dapat

mencapai cita-citanya yang tinggi di dunia usaha. Meski begitu,

Ghany tidak pernah berputus asa. Dengan sisa-sisa sumber daya yang

masih dimiliki, ia melanjutkan usahanya dengan berdagang produk-

produk pertanian seperti kopi dan teh. Di tahun 1943, ia bahkan

masih bisa mendirikan sebuah badan usaha lagi, yang diberi nama

Masayu Trading Company. Nama Masayu berasal dari nama isterinya,

Masayu Zaleha.



Masayu Trading Coy berkantor di Bandung, tepatnya di Jalan Tamblong.

Pada awalnya perusahaan ini menunjukkan perkembangan yang sangat

baik, sehingga kantornya selalu diliputi oleh kesibukan setiap hari.



Sementara itu, setelah Jepang menyerah kepada pihak Sekutu, timbul

gerakan-gerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai putra

bangsa, biar bagaimana, Ghany mendukung perjuangan kaum pemuda dalam

usaha merebut kemerdekaan. Oleh karena itu, di kantornya yang luas,

ia menampung kegiatan-kegiatan Kantor Berita "Antara" yang berfungsi

sebagai corong perjuangan, serta mengakomodasikan pula kegiatan-

kegiatan kaum pemuda untuk siap berperang melawan tentara Belanda

yang membonceng tentara Sekutu. Pada akhirnya, kegiatan ini tercium

oleh tentara Inggeris, sehingga dalam suatu penggerebekan yang

dilakukan tentara Gurkha, kantor Masayu Trading Coy rusak berantakan,

semua komoditas pertaniannya juga habis hancur luluh atau dirampas.

Kejadian yang merupakan bagian dari peristiwa Bandung Lautan Api itu,

menyebabkan Ghany bangkrut sekali lagi.



Setelah itu, sehubungan dengan situasi negeri yang memanas dan tidak

menentu akibat meletusnys perang kemerdekaan, Ghany mau tidak mau

juga ikut terdampar ke sana ke mari. Mula-mula ia mengungsi ke

Tasikmalaya. Di kota ini, naluri bisnisnya membuat ia menjalankan

usaha di bidang kerajinan tangan khas daerah Jawa Barat seperti

payung geulis, anyaman bambu dan lain-lain.



Pengungsiannya berlanjut ke kota Yogyakarta, karena situasi perang

yang semakin gawat. Di kota gudeg, lagi-lagi ia menjalankan bisnis,

kali ini dalam bidang penjualan arang. Yang menarik adalah, usahanya

pada waktu itu, sama sekali tidak bermodalkan uang. Uang menjadi

langka pada masa perang. Oleh sebab itu, modalnya hanyalah

kepercayaan. Ia mengambil arang dari kota Purworejo, untuk kemudian

diangkut dengan kereta api ke Yogya, dan dijual di sana. Baru

setelah laku, ia bayar hutangnya kepada pemilik barang.



Meski berjalan cukup baik, namun pendapatannya di bidang bisnis arang

tersebut tidaklah terlalu menggembirakan. Maka pada tahun 1949,

Ghany kembali ke Jakarta. Dengan hanya bermodal dengkul, ia putuskan

untuk memulai lagi bisnisnya sama sekali dari nol. Ia tidak punya

uang. Oleh sebab itu, ia mengandal pada kepercayaan orang lain serta

semangat kewirausahaan yang pantang mundur. Ditemuinya beberapa

pemilik produk tekstil serta barang-barang kelontong lainnya di

daerah Jakarta Kota, dan ia tawarkan sebuah program kerja sama

penjualan atas barang-barang dagangan tersebut.



Para pemilik produk yang terdiri dari orang-orang keturunan India dan

Cina itu merasa terkesan dengan sikap Ghany yang jujur dan penuh

semangat, sehingga mereka setuju dengan program kerja sama yang

ditawarkan Ghany. Maka singkatnya. jadilah Ghany juru pemasar barang-

barang dagangan milik para taukeh di Jakarta. Dari kerja sama

perdagangan ini, Ghany mulai mendapat sukses, dan perlahan-lahan ia

bisa mengumpulkan sejumlah uang.



Atas anjuran seorang rekan, Rahman Tamin, Ghany mulai menimbang-

nimbang untuk mengaktifkan kembali perusahaan miliknya dulu, yaitu

Masayu. (Dasaad dan Rahman Tamin adalah orang-orang yang dekat

dengan Ghany, dan keduanya juga merupakan pengusaha-pengusaha besar

serta kenamaan di Indonesia masa itu. Mereka termasuk Wirausahawan

Indonesia Generasi I).



Akhirnya, pertimbangannya menjadi kenyataan. Dengan berbekal

sejumlah uang hasil kerja sama dengan para taukeh di Kota, Ghany

menghidupkan kembali Masayu, dan langsung menggebrak dalam bidang

penjualan tekstil. Ia kerahkan semua tenaga, kemampuan dan strategi

dagang yang dimiliki, demi masa depan yang lebih menjanjikan.

Ternyata, nasibnya kali ini cukup baik, sedikit demi sedikit

perusahaannya memperoleh kemajuan, sampai satu saat ia merasa perlu

untuk mencari mitra di luar negeri. Ia tidak mau terus menerus

bergantung kepada Dasaad dengan perusahaannya Gindo and Dasaad

Concern, yang meminjamkan Surat Ijin Ekspor kepadanya.



Tanpa bekal kemampuan berbahasa Belanda sama sekali, Ghany pergi ke

Negeri Belanda. Untung ia berjumpa dengan orang Jerman yang fasih

berbahasa Indonesia, yang kebetulan pula merupakan seorang pimpinan

perusahaan alat-alat pertanian keluaran Jerman. Bersama orang

tersebut, Ghany berhasil menjalin kerja sama untuk mengageni produk

peralatan pertanian di Indonesia, dengan merek Carl Schlieper.



Demikianlah Abdul Ghany Aziz, pada akhirnya mendapatkan jalan lurus

menuju kesuksesan setelah kepergiannya ke Negeri Belanda serta

perjumpaannya dengan orang Jerman yang menjadi mitra bisnisnya.

Dengan usaha yang tidak kenal menyerah, ia berhasil mendapatkan order

dari Departemen Pertanian untuk pengadaan alat-alat bertani. Dari

situ ia juga berhasil meningkatkan penjualannya kepada berbagai pihak

lain.



Meski awal kiprahnya menjadi agen Carl Schlieper mendapat masalah

tuntutan hak paten dari sebuah perusahaan Belanda yang bernama Java

Staal, namun Ghany berhasil mengatasi masalah tersebut dengan bantuan

perusahaan Carl Schlieper sendiri yang terjun langsung ke

Pengadilan. Demikian juga pada saat berikutnya, ketika orang-orang

dan perusahaan-perusahaan Belanda yang tidak senang dengan sepak

terjangnya membuat ulah macam-macam, ia juga berhasil mengatasinya

dengan baik. Bahkan pada akhirnya, beberapa pengusaha Belanda

memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan tokoh kita yang amat

ulet ini.



Setelah berbagai peristiwa itu berlalu, Abdul Ghany Aziz makin

membakukan dirinya sebagai pengusaha yang tangguh. Ia pergi ke

Amerika untuk mengambil keagenan berbagai produk penunjang pertanian,

antara lain menjadi agen traktor dan buldozer. Perusahaannya, Masayu

dan Kiagoos terus tumbuh kokoh dengan berbagai kantor cabangnya di

kota-kota besar di Indonesia, lengkap dengan ratusan orang karyawan

yang siap bekerja keras. Ia bahkan juga berhubungan dengan sebuah

perusahaan asing, Bristow Ltd., untuk mengageni produk helikopter

dari perusahaan tersebut. Maka muncullah PT Bristow Masayu

Helicopters yang berkantor di Jl. Jend. Sudirman Jakarta.



Sosok Abdul Ghany adalah sosok pekerja keras yang pantang menyerah.

Ia baru menyatakan diri pensiun saat usianya mencapai 71 tahun,

ketika ia merasa yakin bahwa fungsinya sebagai pimpinan dapat

didelegasikan kepada para manajer profesional. Itu pun ia koreksi

setelah mendapatkan kenyataan bahwa korupsi merajalela di dalam

perusahaan, beberapa tahun setelah ia tinggalkan.



Banyak orang kemudian tercengang bahwa ada seorang wirausahawan yang

pada usia 84 tahun, kembali aktif memimpin perusahaan besar dengan

ratusan karyawan di bawahnya. Itulah Abdul Ghany Aziz pada tahun 1977

Minggu, 18 Oktober 2009

Dari Athlet...berbelok ke jualan oli

Siapa tak kenal Rudy Hartono? Atlet bulu tangkis yang satu ini adalah satu-satunya pemain Indonesia yang mampu menjadi juara All England sampai delapan kali. Saking hebatnya di lapangan bulu tangkis, Rudy disebut Wonder Boy alias anak ajaib oleh Herbert A. Schele, almarhum tokoh bulu tangkis dunia. Sementara itu media massa menjulukinya sang Maestro bulu tangkis. Tapi, sedikit yang tahu kalau Rudy Hartono juga piawai di bidang bisnis.
Buktinya, PT Topindo Atlas Asia milik Rudy mendapatkan penghargaan Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) 2001. Dibandingkan dengan produk lainnya —seperti Mesran, Penzoill, Federal, Castrol, Agip, Motul, dan produk oli lainnya yang banyak bertebaran di pasar— distributor oli merek Top 1 ini dinilai berhasil memuaskan para pelanggannya. Sudah barang tentu, penghargaan tersebut membuktikan bintang sang Maestro ini belum pudar. Hanya, kali ini bintangnya tidak lagi di lapangan bulu tangkis, tapi sudah pindah ke lapangan bisnis.
Sukses Rudy di bidang bisnis memang layak diacungi jempol, apalagi kini tak sedikit pensiunan atlet yang terpaksa meratapi nasibnya lantaran tak punya sumber penghasilan. Bagi Rudy sendiri, dunia bisnis sebenarnya bukan dunia baru. Sejak kecil, maestro yang punya nama asli Nio Hap Liang ini sudah terbiasa berurusan dengan dagang. Ayahnya, Zulkarnaen Kurniawan alias Nio Siek In, adalah pemilik klub Surya Naga di kota Surabaya. ”Dari kaos, sepatu olah raga, raket sampai alat olah raga, kita jual,” kenang Rudy.
Tak hanya kaos dan perlengkapan olah raga yang mereka jual, bisnis keluarga Rudy pun sempat berkembang menjadi produsen susu. Produk susu keluarga Rudy ini kabarnya tak hanya dipasarkan di wilayah Surabaya tapi sudah berkembang di Jawa Tengah sampai Jakarta. Sayangnya, perusahaan tersebut kini tak beroperasi lantaran tak ada yang mengurus. ”Semua sudah sibuk dengan bisnisnya masing-masing” kenang Rudy sambil tertawa.
Lantas, mengapa Rudy kembali ke dunia bisnis yang telah lama ditinggalkannya? Adalah Jimmy Zhu, sahabat Rudy sejak 1972, yang mengajaknya berbisnis oli. Ketika itu, lima tahun silam, pemilik Topindo itu mengajaknya berjualan oli impor Top 1. Kendati sibuk berurusan dengan pembinaan bulu tangkis, ajakan itu tak ditampiknya. Bersama mantan atlet bulu tangkis lainnya, Ade Chandra, Rudy pun menerima tawaran untuk bergabung di Topindo.
Rupanya, bintang terang masih menyinari Rudy. Tak butuh waktu lama, Top 1 mulai mengancam kedudukan Mesran Prima. Memang, dari segi volume penjualan, Mesran Prima masih mendominasi pasar. Toh, tak sedikit bengkel yang merekomendasikan Top 1. ”Ini mungkin karena faktor harga yang sedikit lebih mahal ketimbang mereka,” ujar Rudy beralasan. Meski begitu, konon Mesran makin khawatir akan keberadaan dan pemakaian oli Topindo. Tak hanya itu. Produsen oli impor macam Shell, Motul, dan masih banyak lagi mulai blingsatan.
Boleh jadi kiat memasang harga yang relatif miring dibandingkan dengan oli impor lainnya membuat penjualan Top 1 makin melejit. Untuk oli kualitas prima, misalnya, Topindo memasang harga Rp 26.000–Rp 30.000. Jauh lebih murah ketimbang oli impor lainnya yang dipasarkan dengan harga mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per liter. Di saat krisis seperti sekarang, ketika orang makin berhitung soal pengeluaran, Top 1 menjadi lebih kompetitif. ”Ini karena konsumen sekarang mulai peduli harga,” kata Rudy.
Tuduhan penipuan dan pemalsuan bertubi-tubi
Keberhasilan Top 1 di pasaran ternyata di luar perkiraan Rudy. Berbeda dengan oli lainnya, Topindo ternyata tak banyak melakukan promosi agar produknya digemari konsumen. Tanpa gencar gembar-gembor beriklan baik di teve, surat kabar, tabloid, majalah atau radio, konsumen melirik dan memakai produk Topindo. Hanya lewat event atau acara olah raga mobil ataupun motor Top 1 menggebrak pasar. Selain itu, menurut Rudy, pihaknya menggunakan metode pemasaran MLM alias marketing lewat mulut. Uniknya, ini dilakukan bukan oleh bagian marketing dari Topindo, melainkan datang dari konsumen.
Entah lantaran banyak yang iri atau karena sebab lain, berbagai isu pun mula ditebarkan para pesaing Top 1. Pukulan telak menimpa Topindo dan sempat menurunkan volume penjualan. Setahun lalu, misalnya, Topindo harus rela produknya dipalsukan. Untunglah, tak berapa lama persoalan tersebut selesai. Tapi, pukulan lain kembali dilayangkan ke Topindo. Kali ini Top 1 dituduh melakukan penipuan merek dan produksi. Kabar yang menyebutkan bahwa Top 1 merupakan produksi lokal yang diproduksi di Indonesia dan dilabelkan di Singapura kembali meruntuhkan kepercayaan konsumennya.
Isu lainnya menyebutkan bahwa Top 1 tak mempunyai pabrik di negara asalnya, Amerika. ”Padahal pabriknya sendiri ada empat di AS,” ujar Rudy tanpa bersedia menyebutkan volumenya. Seiring berjalannya waktu, tuduhan-tuduhan itu seolah hilang dibawa angin. Kepercayaan terhadap Top 1 pulih kembali. Berdasarkan survei yang dilakukan Topindo di banyak bengkel, Top 1 tetap menjadi salah satu oli yang disukai konsumen.
Sebagai Komisaris Utama Topindo, kini Rudy mulai menikmati buah keberhasilan Top 1. Meski masih kalah ketimbang Mesran, Penzoill, dan Federal, pangsa pasar Top 1 sudah mencapai 10% kebutuhan pelumas nasional. Ini lebih tinggi ketimbang Castrol, Agip, Shell dan Motul yang masih di bawah 5%. ”Padahal masuk pasarnya duluan mereka, lo,” kata Rudy.
Cinta Sejati Juragan Oli
Menjadi pengusaha bukanlah impian Rudy Hartono Kurniawan. Meski sejak kecil sudah akrab dengan dunia usaha, dan bahkan menikah dengan keponakan taipan William Soeryadjaja, Rudy lebih menyukai bulu tangkis. Tak heran, selama perjalanan kariernya Rudy mencurahkan waktu dan perhatian untuk olah raga yang satu ini. Mulai dari menjadi atlet, pembina, sampai mendirikan klub Jaya Raya yang menampung atlet berbakat di bulu tangkis.
Saking cintanya terhadap olah raga bulu tangkis, anak ketiga dari delapan bersaudara keluarga Zulkarnaen Kurniawan ini tak mau setengah-setengah menjalaninya. Disiplin serta ketekunannya telah membuahkan banyak hasil. Lantaran sering menjadi juara, namanya pun terukir di Guinnes Book of Record sebagai juara All England delapan kali. Tak hanya itu, pria kelahiran Surabaya 52 tahun lalu ini juga menerima penghargaan Diplome D’Honneur dari Unesco, penghargaan tertinggi di bidang olah raga.
Tapi, setelah bertahun-tahun setia dengan bulu tangkis, iman Rudy pun mulai tergoda untuk terjun ke dunia bisnis oli impor. Dari sekian produk oli impor, pilihannya jatuh ke Top 1. Seolah ingin menjadikan Top 1 seperti perjalanan kariernya yang selalu menjadi juara satu, Rudy pun tak mau tanggung-tanggung menekuninya. Tanyalah dirinya tentang oli, sederet kalimat bakal keluar dari mulutnya. Mulai dari urusan ganti oli sampai bahan oli ada di kepalanya. ”Untuk menjadi sukses, kenali produk sedetil mungkin. Jangan ada yang terlewat,” katanya.
Kini, Rudy sedikit bisa bersantai lantaran cita-citanya untuk membawa Top 1 menjadi top mulai menampakkan hasil. ”Ini semua anugerah dari Tuhan,” katanya. Sayang, bintangnya sebagai artis film kurang begitu bersinar. Asal tahu saja, Rudy pernah menjadi pemain film. Filmnya, yang dimainkan bersama perancang Poppy Dharsono, ternyata kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Entah kapok atau karena sebab lain, yang jelas sejak itu ia tak pernah muncul lagi di dunia film. ”Terlalu banyak waktu yang dibutuhkan,” kata Rudy.
Meski telah sukses di dunia usaha, kecintaannya terhadap olah raga bulu tangkis ternyata tidak pernah padam sedikit pun. Selain sibuk berbisnis, sebagai duta UNDP, ia terus mencari anak-anak yang punya bakat di bidang olah raga bulu tangkis. Tak heran bila Rudy harus turun ke jalan atau gang-gang sempit hanya untuk mencari bibit baru. ”Siapa tahu, kelak ada calon maestro lainnya,” ujar Rudy