DIBALIK KISAH SUKSES PEMILIK PESONA KHAYANGAN & PESONA DEPOK
Fauzi Saleh, contoh seorang pengusaha sukses sekaligus dermawan. Ini berkat kompak dengan karyawannya. Derai tawa dan langgam bicaranya khas betawi. Itulah gaya H. Fauzi Saleh dalam meladeni tamunya.
Pengusaha perumahan mewah Pesona Depok dan Pesona Khayangan yang hanya lulusan SMP tersebut memang lahir dan dibesarkan di kawasan Tanah Abang, Jakarta. Setamat dari SMP pada tahun 1966, beliau telah merasakan kerasnya kehidupan di ibukota.
Saat itu Fauzi terpaksa bekerja sebagai pencuci mobil di sebuah bengkel dengan gaji Rp 700 per minggu. Bahkan delapan tahun silam, dia masih dikenal sebagai penjaga gudang di sebuah perusahaan. Tapi, kehidupan ibarat roda yang berputar.
Sekarang posisi ayah 6 anak yang berusia 45 tahun ini sedang berada di atas. Pada hari ulang tahunnya itu, pria bertubuh kecil ini memberikan 50 unit mobil kepada 50 dari sekitar 100 karyawan tetapnya. Selain itu para karyawan tetap dan sekitar 2.000 buruh mendapat bonus sebulan gaji. Total Dalam setahun, karyawan dan buruhnya mendapat 22 kali gaji sebagai tambahan, 3 bulan gaji saat Idul Fitri, 2 bulan gaji saat bulan Ramadhan dan Hari Raya Haji, dan 1 bulan gaji saat 17 Agustus, tahun baru dan hari ulang tahun Fauzi. Selain itu, setiap karyawan dan buruh mendapat Rp 5.000 saat selesai shalat Jumat dari masjid miliknya di kompleks perumahan Pesona Depok.
Sikap dermawan ini tampaknya tak lepas dari pandangan Fauzi, yang menilai orang-orang yang bekerja padanya sebagai kekasih. "Karena mereka bekerjalah saya mendapat rezeki.", katanya.
Manajemen kasih sayang yang diterapkan Fauzi ternyata ampuh untuk memajukan perusahaan. Seluruh karyawan bekerja bahu-membahu.
"Mereka seperti bekerja di perusahaan sendiri." Katanya.
Prinsip manajemen "Bismillah" itu telah dilakukan ketika mulai berusaha pada tahun 1989 silam, yaitu setelah dia berhenti bekerja sebagai petugas keamanan. Berbekal uang simpanan dari hasil ngobyek sebagai tukang taman, sebesar 30 juta, beliau kemudian membeli tanah 6 x 15 meter sekaligus membangun rumah di jalan jatipadang, jakarta selatan.
Untuk menyiapkan rumah itu secara utuh diperlukan tambahan dana sebesar 10 juta. Meski demikian, Fauzi tidak berputus asa. Setiap malam jumat, Fauzi dan pekerjanya sebanyak 12 orang, selalu melakukan wirid Yasiin, zikir dan memanjatkan doa agar usaha yang sedang mereka rintis bisa berhasil.
Mungkin karena usaha itu dimulai dengan sikap pasrah, rumah itupun siap juga. Nasib baik memihak Fauzi. Rumah yang beliau bangun itu laku Rp 51 juta. Uang hasil penjualan itu selanjutnya digunakan untuk membeli tanah, membangun rumah, dan menjual kembali. Begitu seterusnya, hingga pada 1992 usaha Fauzi membesar. Tahun itu, lewat PT. Pedoman Tata Bangun yang beliau dirikan, Fauzi mulai membangun 470 unit rumah mewah Pesona Depok 1 dan dilanjutkan dengan 360 unit rumah pesona Depok 2.
Selanjutnya dibangun pula Pesona Khayangan yang juga di Depok. Kini telah dibangun Pesona Khayangan 1 sebanyak 500 unit rumah dan pesona khayangan 2 sebanyak 1100 unit rumah. Sedangkan pesona khayangan 3 dan 4 masih dalam tahap pematangan tanah.
Harga rumah group pesona milik Fauzi tersebut antara 200 juta hingga 600 juta per unit. Yang menarik tradisi pengajian setiap malam jumat yang dilakukannya sejak awal, tidak ditinggalkan. Sekali dalam sebulan, dia menggelar pengajian akbar yang disebut dengan pesona dzikir yang dihadiri seluruh buruh, keluarga dan kerabat di komplek pesona khayangan pertengahan september lalu, ada sekitar 4.000 orang yang hadir. Setiap orang yang hadir mendapatkan sarung dan 3 stel gamis untuk shalat. Setelah itu, ketika beranjak pulang, setiap orang tanpa kecuali, diberi nasi kotak dan uang Rp 10.000. tidak mengherankan, suasana berlangsung sangat akrab. Mereka saling bersalaman dan berpelukan. Tidak ada perbedaan antara bawahan dan atasan.
Menurut Fauzi, beliau sendiri tidak pernah membayangkan akan menjadi> seperti ini.
"Ini semua dari Alloh. Saya tidak ada apa2nya." Kata pria yang sehari-hari berpenampilan sederhana ini. Karena menyadari bahwa semua harta itu pemberian Alloh, Fauzi tidak lupa mengembalikannya dalam bentuk infak dan shadaqoh kepada yang membutuhkan. Tercatat, beberapa masjid telah dia bangun dan sejumlah kaum dhuafa dan janda telah disantuninya. Usaha yang dijalankannya tersebut, menurut Fauzi ibarat menanam padi.
"Dengan bertanam padi, rumput dan ilalang akan tumbuh. Ini berbeda kalaukita bertanam rumput, padi tidak akan tumbuh". Kata Fauzi.
Artinya, Fauzi tidak menginginkan hasil usaha untuk dirinya sendiri.
"Saya hanya mengambil, sekedarnya, selebihnya digunakan untuk kesejahteraan karyawan dan sosial." Katanya.
Sekitar 60 % keuntungan digunakan untuk kegiatan sosial, sedangkan selebihnya dipakai sebagai modal usaha. Sejak empat tahun lalu, ada Rp 70 milyar yang digunakan untuk kegiatan sosial.
"Jadi, keuntungan perusahaan ini adalah nol." Kata Fauzi.
" Jika setiap bangun pagi , kita bisa mensyukuri dengan tulus apa yang telah kita miliki hari ini, niscaya sepanjang hari kita bisa menikmati hidup ini dengan bahagia"
Rabu, 21 Oktober 2009
Senin, 19 Oktober 2009
Dari Arang sampai Helikopter
Tahukah Anda bahwa sejarah kewirausahaan di tanah air telah dimulai jauh sebelum peristiwa kemerdekaan, bahkan telah ada sejak zaman
bahari dahulu kala, ditandai dengan kegiatan perdagangan yang
dilakukan para pedagang dan pelaut Indonesia di seputar Asia Tenggara
sampai ke pulau Madagaskar di Afrika.
Di bawah ini adalah kisah wirausahawan Indonesia angkatan abad lalu,
Abdul Ghany Aziz, yang kaya akan nilai-nilai keteladanan serta sangat
memberikan inspirasi yang tak terukur harganya, terutama bagi kita
yang ingin menelusuri apa dan bagaimana sesungguhnya dunia
kewirausahaan itu. Beberapa butir dari keteladanan dimaksud, bukan
tidak mungkin akan memberi dorongan kepada kaum muda Indonesia untuk
mulai mengambil ancang-ancang terjun ke dunia wirausaha:
. Semangat Pantang Menyerah: Ghany mengalami kebangkrutan
secara bertubi-tubi, entah berapa jumlah uangnya yang dipakai sebagai
modal usaha ternyata harus amblas tanpa bekas. Namun demikian,
kejadian-kejadian semacam itu ternyata tidak membuatnya jera untuk
berbisnis, bahkan bagaikan harimau luka, ia justru makin meningkatkan
intensitas usahanya sedemikian rupa, sampai pada akhirnya dapat
meraih sukses. Semangat pantang menyerah seperti ini perlu sekali
untuk dimiliki dan dijiwai oleh kalangan muda Indonesia, agar mereka
tidak terbentuk menjadi generasi cengeng, yang selalu ingin hidup
enak di bawah berbagai fasilitas milik orang tua atau pihak-pihak
lain.
. Tidak Bergantung Pada Modal Uang: Para pemuda dan calon
pengusaha Indonesia masa kini selalu saja merasa bahwa faktor
ketersediaan modal uang, merupakan kendala utama yang menghambat niat
mereka untuk berusaha. Pada berbagai program kemitraan antara
pengusaha besar dan pengusaha kecil yang dicanangkan pemerintah, para
pengusaha kecil tersebut hanya mengharapkan realisasi bantuan
keuangan belaka, dan tidak mau tahu dan tidak peduli akan pentingnya
faktor-faktor lain seperti motivasi, keuletan, inovasi cara berpikir,
konsep usaha yang jelas serta faktor manajerial. Abdul Ghany justru
memperlihatkan secara gamblang, bahwa faktor modal keuangan bukanlah
faktor utama yang harus menghalangi seseorang untuk memulai usaha.
Ia hanya mengandal pada kepercayaan, dan ia berhasil. Saya sangat
yakin bahwa sebenarnya faktor-faktor non keuangan justru lebih
penting dalam berbisnis, dari pada faktor ketersediaan modal uang.
. Faktor Usia Bukan Penghalang: Seperti diperlihatkan oleh
Ghany, umur seseorang tidaklah merupakan halangan untuk seseorang
bekerja dan berusaha. Tidak ada istilah masih terlalu muda, atau
sebaliknya tidak ada istilah sudah terlalu tua dalam berwirausaha.
Ia sendiri memulai debutnya pada usia 11 tahun, mengalami berbagai
kegagalan sampai usia 52 tahun dan pada usia 84 tahun memulai kembali
kiprahnya sebagai wirausaha yang harus memimpin perusahaan besar
dengan ratusan orang karyawan.
. Semangat Patriotisme: Pada masa penjajahan, menjadi
pengusaha mungkin bisa menyebabkan seseorang lupa akan kodratnya
sebagai anak bangsa yang harus berjuang merebut kemerdekaan. Akan
tetapi, Ghany dan banyak pengusaha pribumi lain, tidak demikian.
Mereka tetap berkontribusi pada perjuangan, sesuai dengan
kapasitasnya sebagai wirausahawan, meski untuk itu mereka harus
banyak berkorban. Ghany telah membuktikan bahwa ia rela kehilangan
perusahaan dan harta bendanya karena dukungannya kepada perjuangan
kemerdekaan bangsa.
ABDUL GHANY AZIZ -- Firma Kiagoos dan PT Masayu
Tokoh ini dilahirkan pada tanggal 28 November 1893. Keturunan
Sumatera Selatan (Palembang) tapi dilahirkan di Betawi atau Jakarta.
Dalam bidang kewirausahaan, Abdul Ghany termasuk beruntung karena ia
mempunyai tokoh panutan, yaitu ayahnya sendiri. Sang ayah, Kiagoos
Abdul Aziz, adalah seorang pedagang besar yang bergerak dalam jual
beli hasil-hasil pertanian. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila
naluri dagang Abdul Ghany begitu dominan. Meski pendidikannya hanya
sebatas Sekolah Dasar (HIS = Hollands Inlandsche School) yang tidak
tamat pula, kehidupannya justru sangat sukses melalui dunia usaha.
Karirnya dimulai sejak kecil, sekitar usia 11 tahun ia telah mulai
membantu sang ayah, pemilik perusahaan Firma Kiagoos Abdul Aziz &
Co. Di sini Abdul Ghany dididik sangat keras dalam praktik
berusaha. Meski bekerja dengan ayah sendiri, ia harus memulai
segalanya dari bawah. Mula-mula sebagai penjaga gudang, untuk
meningkat sedikit demi sedikit, sebelum mendapat lampu hijau dari
sang ayah untuk membangun dan mengelola usahanya sendiri.
Sayangnya, jalan hidup Abdul Ghany memang berada pada tahun-tahun
yang keras. Tahun 1914 sampai 1918 meletus Perang Dunia I.
Pengaruhnya cukup dahsyat atas kondisi perekonomian dunia, termasuk
di Indonesia. Daya beli masyarakat anjlok, sedang barang dagangan
menjadi langka. Sekitar tahun 1922, Abdul Ghany mengelola cabang
Firma Kiagoos di Palembang. Namun karena dampak perang terus menerus
menyebabkan kesulitan ekonomi, akhirnya perusahaan ini tutup karena
bangkrut. Dan Ghany pun memutuskan untuk hijrah ke Singapura,
mencari pekerjaan.
Ia menghabiskan waktu sekitar 2 - 3 tahun di negeri Singa untuk
bekerja sebagai pembantu di sebuah rumah makan, sambil juga berusaha
dengan jalan menjadi pedagang perantara valuta asing (dolar) bagi
para pedagang Indonesia yang datang ke sana. Saat terjadinya
pemberontakan komunis di Indonesia tahun 1927, ia pulang ke tanah
air, dan kembali mencoba berbisnis dalam bidang hasil pertanian di
Sumatera Selatan, yang antara lain meliputi kopi, rotan dan karet.
Ghany sangat idealis dan pemberani. Ia tidak takut untuk bersaing
dengan pedagang-pedagang Cina yang menguasai jaringan perdagangan di
bidang itu. Untuk memenangkan persaingan, tidak tanggung-tanggung ia
membayar lebih dahulu harga hasil bumi yang masih dalam masa tanam,
kepada para petani. Ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk
memenuhi permintaan para kliennya, para eksportir.
Namun apa mau dikata. Musim hujan yang berkepanjangan menghancurkan
segalanya, mulai dari persawahan petani yang tidak bisa lagi di
panen, sampai harapan Ghany yang melihat dengan sayu betapa para
petani itu tidak mampu memenuhi kewajiban untuk memasok hasil
pertanian yang telah ia bayar di muka. Maka, lagi-lagi bangkrutlah
ia.
Demikianlah perjuangan tokoh wirausaha ini berlanjut terus di bawah
tekanan penderitaan bertubi-tubi. Ia konsisten dengan pendiriannya
untuk selalu berada di jalur wirausaha, meski kenyataan pahit selalu
membayangi. Tekanan datang dari pemerintah Belanda, yang antara lain
telah memberlakukan peraturan pajak diskriminatif, di mana para
pengusaha pribumi harus membayar jauh lebih besar dibanding kewajiban
yang dikenai pada para pengusaha Belanda. Di samping itu, tekanan
juga datang dari persaingannya dengan jaringan usaha kaum pedagang
keturunan, yang dengan perkumpulan-perkumpulannya tidak segan untuk
melancarkan strategi doping (menjatuhkan harga). Dengan doping
tersebut, banyak perusahaan-perusahaan pribumi yang harus gulung
tikar, dan kendali harga sepenuhnya dipegang kembali oleh kaum
pedagang keturunan.
Tahun 1939, Ghany beserta dua rekan masing-masing Ayub Rais dan
Dasaad, mendirikan sebuah perusahaan yang dinamakan Malaya Import.
Perusahaan ini bergerak dalam bidang penjualan tekstil, yang diimpor
dari Jepang.
Tahun 1940, satu lagi perusahaannya didirikan, kali ini bernama Firma
Kiagoos Brothers bersama-sama Dasaad. Perusahaan tersebut juga
berkiprah dalam penjualan tekstil. Sebuah pabrik tekstil milik
Belanda yang dibeli di Bangil, menjadi tumpuan harapan mereka untuk
meraih sukses.
Akan tetapi, baru saja perusahaan ini mau tinggal landas, tentara
pendudukan Jepang datang, dan merampas habis semua komoditas yang
mereka miliki. Dan sekali lagi, buyarlah harapan Ghany untuk dapat
mencapai cita-citanya yang tinggi di dunia usaha. Meski begitu,
Ghany tidak pernah berputus asa. Dengan sisa-sisa sumber daya yang
masih dimiliki, ia melanjutkan usahanya dengan berdagang produk-
produk pertanian seperti kopi dan teh. Di tahun 1943, ia bahkan
masih bisa mendirikan sebuah badan usaha lagi, yang diberi nama
Masayu Trading Company. Nama Masayu berasal dari nama isterinya,
Masayu Zaleha.
Masayu Trading Coy berkantor di Bandung, tepatnya di Jalan Tamblong.
Pada awalnya perusahaan ini menunjukkan perkembangan yang sangat
baik, sehingga kantornya selalu diliputi oleh kesibukan setiap hari.
Sementara itu, setelah Jepang menyerah kepada pihak Sekutu, timbul
gerakan-gerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai putra
bangsa, biar bagaimana, Ghany mendukung perjuangan kaum pemuda dalam
usaha merebut kemerdekaan. Oleh karena itu, di kantornya yang luas,
ia menampung kegiatan-kegiatan Kantor Berita "Antara" yang berfungsi
sebagai corong perjuangan, serta mengakomodasikan pula kegiatan-
kegiatan kaum pemuda untuk siap berperang melawan tentara Belanda
yang membonceng tentara Sekutu. Pada akhirnya, kegiatan ini tercium
oleh tentara Inggeris, sehingga dalam suatu penggerebekan yang
dilakukan tentara Gurkha, kantor Masayu Trading Coy rusak berantakan,
semua komoditas pertaniannya juga habis hancur luluh atau dirampas.
Kejadian yang merupakan bagian dari peristiwa Bandung Lautan Api itu,
menyebabkan Ghany bangkrut sekali lagi.
Setelah itu, sehubungan dengan situasi negeri yang memanas dan tidak
menentu akibat meletusnys perang kemerdekaan, Ghany mau tidak mau
juga ikut terdampar ke sana ke mari. Mula-mula ia mengungsi ke
Tasikmalaya. Di kota ini, naluri bisnisnya membuat ia menjalankan
usaha di bidang kerajinan tangan khas daerah Jawa Barat seperti
payung geulis, anyaman bambu dan lain-lain.
Pengungsiannya berlanjut ke kota Yogyakarta, karena situasi perang
yang semakin gawat. Di kota gudeg, lagi-lagi ia menjalankan bisnis,
kali ini dalam bidang penjualan arang. Yang menarik adalah, usahanya
pada waktu itu, sama sekali tidak bermodalkan uang. Uang menjadi
langka pada masa perang. Oleh sebab itu, modalnya hanyalah
kepercayaan. Ia mengambil arang dari kota Purworejo, untuk kemudian
diangkut dengan kereta api ke Yogya, dan dijual di sana. Baru
setelah laku, ia bayar hutangnya kepada pemilik barang.
Meski berjalan cukup baik, namun pendapatannya di bidang bisnis arang
tersebut tidaklah terlalu menggembirakan. Maka pada tahun 1949,
Ghany kembali ke Jakarta. Dengan hanya bermodal dengkul, ia putuskan
untuk memulai lagi bisnisnya sama sekali dari nol. Ia tidak punya
uang. Oleh sebab itu, ia mengandal pada kepercayaan orang lain serta
semangat kewirausahaan yang pantang mundur. Ditemuinya beberapa
pemilik produk tekstil serta barang-barang kelontong lainnya di
daerah Jakarta Kota, dan ia tawarkan sebuah program kerja sama
penjualan atas barang-barang dagangan tersebut.
Para pemilik produk yang terdiri dari orang-orang keturunan India dan
Cina itu merasa terkesan dengan sikap Ghany yang jujur dan penuh
semangat, sehingga mereka setuju dengan program kerja sama yang
ditawarkan Ghany. Maka singkatnya. jadilah Ghany juru pemasar barang-
barang dagangan milik para taukeh di Jakarta. Dari kerja sama
perdagangan ini, Ghany mulai mendapat sukses, dan perlahan-lahan ia
bisa mengumpulkan sejumlah uang.
Atas anjuran seorang rekan, Rahman Tamin, Ghany mulai menimbang-
nimbang untuk mengaktifkan kembali perusahaan miliknya dulu, yaitu
Masayu. (Dasaad dan Rahman Tamin adalah orang-orang yang dekat
dengan Ghany, dan keduanya juga merupakan pengusaha-pengusaha besar
serta kenamaan di Indonesia masa itu. Mereka termasuk Wirausahawan
Indonesia Generasi I).
Akhirnya, pertimbangannya menjadi kenyataan. Dengan berbekal
sejumlah uang hasil kerja sama dengan para taukeh di Kota, Ghany
menghidupkan kembali Masayu, dan langsung menggebrak dalam bidang
penjualan tekstil. Ia kerahkan semua tenaga, kemampuan dan strategi
dagang yang dimiliki, demi masa depan yang lebih menjanjikan.
Ternyata, nasibnya kali ini cukup baik, sedikit demi sedikit
perusahaannya memperoleh kemajuan, sampai satu saat ia merasa perlu
untuk mencari mitra di luar negeri. Ia tidak mau terus menerus
bergantung kepada Dasaad dengan perusahaannya Gindo and Dasaad
Concern, yang meminjamkan Surat Ijin Ekspor kepadanya.
Tanpa bekal kemampuan berbahasa Belanda sama sekali, Ghany pergi ke
Negeri Belanda. Untung ia berjumpa dengan orang Jerman yang fasih
berbahasa Indonesia, yang kebetulan pula merupakan seorang pimpinan
perusahaan alat-alat pertanian keluaran Jerman. Bersama orang
tersebut, Ghany berhasil menjalin kerja sama untuk mengageni produk
peralatan pertanian di Indonesia, dengan merek Carl Schlieper.
Demikianlah Abdul Ghany Aziz, pada akhirnya mendapatkan jalan lurus
menuju kesuksesan setelah kepergiannya ke Negeri Belanda serta
perjumpaannya dengan orang Jerman yang menjadi mitra bisnisnya.
Dengan usaha yang tidak kenal menyerah, ia berhasil mendapatkan order
dari Departemen Pertanian untuk pengadaan alat-alat bertani. Dari
situ ia juga berhasil meningkatkan penjualannya kepada berbagai pihak
lain.
Meski awal kiprahnya menjadi agen Carl Schlieper mendapat masalah
tuntutan hak paten dari sebuah perusahaan Belanda yang bernama Java
Staal, namun Ghany berhasil mengatasi masalah tersebut dengan bantuan
perusahaan Carl Schlieper sendiri yang terjun langsung ke
Pengadilan. Demikian juga pada saat berikutnya, ketika orang-orang
dan perusahaan-perusahaan Belanda yang tidak senang dengan sepak
terjangnya membuat ulah macam-macam, ia juga berhasil mengatasinya
dengan baik. Bahkan pada akhirnya, beberapa pengusaha Belanda
memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan tokoh kita yang amat
ulet ini.
Setelah berbagai peristiwa itu berlalu, Abdul Ghany Aziz makin
membakukan dirinya sebagai pengusaha yang tangguh. Ia pergi ke
Amerika untuk mengambil keagenan berbagai produk penunjang pertanian,
antara lain menjadi agen traktor dan buldozer. Perusahaannya, Masayu
dan Kiagoos terus tumbuh kokoh dengan berbagai kantor cabangnya di
kota-kota besar di Indonesia, lengkap dengan ratusan orang karyawan
yang siap bekerja keras. Ia bahkan juga berhubungan dengan sebuah
perusahaan asing, Bristow Ltd., untuk mengageni produk helikopter
dari perusahaan tersebut. Maka muncullah PT Bristow Masayu
Helicopters yang berkantor di Jl. Jend. Sudirman Jakarta.
Sosok Abdul Ghany adalah sosok pekerja keras yang pantang menyerah.
Ia baru menyatakan diri pensiun saat usianya mencapai 71 tahun,
ketika ia merasa yakin bahwa fungsinya sebagai pimpinan dapat
didelegasikan kepada para manajer profesional. Itu pun ia koreksi
setelah mendapatkan kenyataan bahwa korupsi merajalela di dalam
perusahaan, beberapa tahun setelah ia tinggalkan.
Banyak orang kemudian tercengang bahwa ada seorang wirausahawan yang
pada usia 84 tahun, kembali aktif memimpin perusahaan besar dengan
ratusan karyawan di bawahnya. Itulah Abdul Ghany Aziz pada tahun 1977
bahari dahulu kala, ditandai dengan kegiatan perdagangan yang
dilakukan para pedagang dan pelaut Indonesia di seputar Asia Tenggara
sampai ke pulau Madagaskar di Afrika.
Di bawah ini adalah kisah wirausahawan Indonesia angkatan abad lalu,
Abdul Ghany Aziz, yang kaya akan nilai-nilai keteladanan serta sangat
memberikan inspirasi yang tak terukur harganya, terutama bagi kita
yang ingin menelusuri apa dan bagaimana sesungguhnya dunia
kewirausahaan itu. Beberapa butir dari keteladanan dimaksud, bukan
tidak mungkin akan memberi dorongan kepada kaum muda Indonesia untuk
mulai mengambil ancang-ancang terjun ke dunia wirausaha:
. Semangat Pantang Menyerah: Ghany mengalami kebangkrutan
secara bertubi-tubi, entah berapa jumlah uangnya yang dipakai sebagai
modal usaha ternyata harus amblas tanpa bekas. Namun demikian,
kejadian-kejadian semacam itu ternyata tidak membuatnya jera untuk
berbisnis, bahkan bagaikan harimau luka, ia justru makin meningkatkan
intensitas usahanya sedemikian rupa, sampai pada akhirnya dapat
meraih sukses. Semangat pantang menyerah seperti ini perlu sekali
untuk dimiliki dan dijiwai oleh kalangan muda Indonesia, agar mereka
tidak terbentuk menjadi generasi cengeng, yang selalu ingin hidup
enak di bawah berbagai fasilitas milik orang tua atau pihak-pihak
lain.
. Tidak Bergantung Pada Modal Uang: Para pemuda dan calon
pengusaha Indonesia masa kini selalu saja merasa bahwa faktor
ketersediaan modal uang, merupakan kendala utama yang menghambat niat
mereka untuk berusaha. Pada berbagai program kemitraan antara
pengusaha besar dan pengusaha kecil yang dicanangkan pemerintah, para
pengusaha kecil tersebut hanya mengharapkan realisasi bantuan
keuangan belaka, dan tidak mau tahu dan tidak peduli akan pentingnya
faktor-faktor lain seperti motivasi, keuletan, inovasi cara berpikir,
konsep usaha yang jelas serta faktor manajerial. Abdul Ghany justru
memperlihatkan secara gamblang, bahwa faktor modal keuangan bukanlah
faktor utama yang harus menghalangi seseorang untuk memulai usaha.
Ia hanya mengandal pada kepercayaan, dan ia berhasil. Saya sangat
yakin bahwa sebenarnya faktor-faktor non keuangan justru lebih
penting dalam berbisnis, dari pada faktor ketersediaan modal uang.
. Faktor Usia Bukan Penghalang: Seperti diperlihatkan oleh
Ghany, umur seseorang tidaklah merupakan halangan untuk seseorang
bekerja dan berusaha. Tidak ada istilah masih terlalu muda, atau
sebaliknya tidak ada istilah sudah terlalu tua dalam berwirausaha.
Ia sendiri memulai debutnya pada usia 11 tahun, mengalami berbagai
kegagalan sampai usia 52 tahun dan pada usia 84 tahun memulai kembali
kiprahnya sebagai wirausaha yang harus memimpin perusahaan besar
dengan ratusan orang karyawan.
. Semangat Patriotisme: Pada masa penjajahan, menjadi
pengusaha mungkin bisa menyebabkan seseorang lupa akan kodratnya
sebagai anak bangsa yang harus berjuang merebut kemerdekaan. Akan
tetapi, Ghany dan banyak pengusaha pribumi lain, tidak demikian.
Mereka tetap berkontribusi pada perjuangan, sesuai dengan
kapasitasnya sebagai wirausahawan, meski untuk itu mereka harus
banyak berkorban. Ghany telah membuktikan bahwa ia rela kehilangan
perusahaan dan harta bendanya karena dukungannya kepada perjuangan
kemerdekaan bangsa.
ABDUL GHANY AZIZ -- Firma Kiagoos dan PT Masayu
Tokoh ini dilahirkan pada tanggal 28 November 1893. Keturunan
Sumatera Selatan (Palembang) tapi dilahirkan di Betawi atau Jakarta.
Dalam bidang kewirausahaan, Abdul Ghany termasuk beruntung karena ia
mempunyai tokoh panutan, yaitu ayahnya sendiri. Sang ayah, Kiagoos
Abdul Aziz, adalah seorang pedagang besar yang bergerak dalam jual
beli hasil-hasil pertanian. Oleh karenanya, tidak mengherankan bila
naluri dagang Abdul Ghany begitu dominan. Meski pendidikannya hanya
sebatas Sekolah Dasar (HIS = Hollands Inlandsche School) yang tidak
tamat pula, kehidupannya justru sangat sukses melalui dunia usaha.
Karirnya dimulai sejak kecil, sekitar usia 11 tahun ia telah mulai
membantu sang ayah, pemilik perusahaan Firma Kiagoos Abdul Aziz &
Co. Di sini Abdul Ghany dididik sangat keras dalam praktik
berusaha. Meski bekerja dengan ayah sendiri, ia harus memulai
segalanya dari bawah. Mula-mula sebagai penjaga gudang, untuk
meningkat sedikit demi sedikit, sebelum mendapat lampu hijau dari
sang ayah untuk membangun dan mengelola usahanya sendiri.
Sayangnya, jalan hidup Abdul Ghany memang berada pada tahun-tahun
yang keras. Tahun 1914 sampai 1918 meletus Perang Dunia I.
Pengaruhnya cukup dahsyat atas kondisi perekonomian dunia, termasuk
di Indonesia. Daya beli masyarakat anjlok, sedang barang dagangan
menjadi langka. Sekitar tahun 1922, Abdul Ghany mengelola cabang
Firma Kiagoos di Palembang. Namun karena dampak perang terus menerus
menyebabkan kesulitan ekonomi, akhirnya perusahaan ini tutup karena
bangkrut. Dan Ghany pun memutuskan untuk hijrah ke Singapura,
mencari pekerjaan.
Ia menghabiskan waktu sekitar 2 - 3 tahun di negeri Singa untuk
bekerja sebagai pembantu di sebuah rumah makan, sambil juga berusaha
dengan jalan menjadi pedagang perantara valuta asing (dolar) bagi
para pedagang Indonesia yang datang ke sana. Saat terjadinya
pemberontakan komunis di Indonesia tahun 1927, ia pulang ke tanah
air, dan kembali mencoba berbisnis dalam bidang hasil pertanian di
Sumatera Selatan, yang antara lain meliputi kopi, rotan dan karet.
Ghany sangat idealis dan pemberani. Ia tidak takut untuk bersaing
dengan pedagang-pedagang Cina yang menguasai jaringan perdagangan di
bidang itu. Untuk memenangkan persaingan, tidak tanggung-tanggung ia
membayar lebih dahulu harga hasil bumi yang masih dalam masa tanam,
kepada para petani. Ia tidak mau kehilangan kesempatan untuk
memenuhi permintaan para kliennya, para eksportir.
Namun apa mau dikata. Musim hujan yang berkepanjangan menghancurkan
segalanya, mulai dari persawahan petani yang tidak bisa lagi di
panen, sampai harapan Ghany yang melihat dengan sayu betapa para
petani itu tidak mampu memenuhi kewajiban untuk memasok hasil
pertanian yang telah ia bayar di muka. Maka, lagi-lagi bangkrutlah
ia.
Demikianlah perjuangan tokoh wirausaha ini berlanjut terus di bawah
tekanan penderitaan bertubi-tubi. Ia konsisten dengan pendiriannya
untuk selalu berada di jalur wirausaha, meski kenyataan pahit selalu
membayangi. Tekanan datang dari pemerintah Belanda, yang antara lain
telah memberlakukan peraturan pajak diskriminatif, di mana para
pengusaha pribumi harus membayar jauh lebih besar dibanding kewajiban
yang dikenai pada para pengusaha Belanda. Di samping itu, tekanan
juga datang dari persaingannya dengan jaringan usaha kaum pedagang
keturunan, yang dengan perkumpulan-perkumpulannya tidak segan untuk
melancarkan strategi doping (menjatuhkan harga). Dengan doping
tersebut, banyak perusahaan-perusahaan pribumi yang harus gulung
tikar, dan kendali harga sepenuhnya dipegang kembali oleh kaum
pedagang keturunan.
Tahun 1939, Ghany beserta dua rekan masing-masing Ayub Rais dan
Dasaad, mendirikan sebuah perusahaan yang dinamakan Malaya Import.
Perusahaan ini bergerak dalam bidang penjualan tekstil, yang diimpor
dari Jepang.
Tahun 1940, satu lagi perusahaannya didirikan, kali ini bernama Firma
Kiagoos Brothers bersama-sama Dasaad. Perusahaan tersebut juga
berkiprah dalam penjualan tekstil. Sebuah pabrik tekstil milik
Belanda yang dibeli di Bangil, menjadi tumpuan harapan mereka untuk
meraih sukses.
Akan tetapi, baru saja perusahaan ini mau tinggal landas, tentara
pendudukan Jepang datang, dan merampas habis semua komoditas yang
mereka miliki. Dan sekali lagi, buyarlah harapan Ghany untuk dapat
mencapai cita-citanya yang tinggi di dunia usaha. Meski begitu,
Ghany tidak pernah berputus asa. Dengan sisa-sisa sumber daya yang
masih dimiliki, ia melanjutkan usahanya dengan berdagang produk-
produk pertanian seperti kopi dan teh. Di tahun 1943, ia bahkan
masih bisa mendirikan sebuah badan usaha lagi, yang diberi nama
Masayu Trading Company. Nama Masayu berasal dari nama isterinya,
Masayu Zaleha.
Masayu Trading Coy berkantor di Bandung, tepatnya di Jalan Tamblong.
Pada awalnya perusahaan ini menunjukkan perkembangan yang sangat
baik, sehingga kantornya selalu diliputi oleh kesibukan setiap hari.
Sementara itu, setelah Jepang menyerah kepada pihak Sekutu, timbul
gerakan-gerakan memperjuangkan kemerdekaan Indonesia. Sebagai putra
bangsa, biar bagaimana, Ghany mendukung perjuangan kaum pemuda dalam
usaha merebut kemerdekaan. Oleh karena itu, di kantornya yang luas,
ia menampung kegiatan-kegiatan Kantor Berita "Antara" yang berfungsi
sebagai corong perjuangan, serta mengakomodasikan pula kegiatan-
kegiatan kaum pemuda untuk siap berperang melawan tentara Belanda
yang membonceng tentara Sekutu. Pada akhirnya, kegiatan ini tercium
oleh tentara Inggeris, sehingga dalam suatu penggerebekan yang
dilakukan tentara Gurkha, kantor Masayu Trading Coy rusak berantakan,
semua komoditas pertaniannya juga habis hancur luluh atau dirampas.
Kejadian yang merupakan bagian dari peristiwa Bandung Lautan Api itu,
menyebabkan Ghany bangkrut sekali lagi.
Setelah itu, sehubungan dengan situasi negeri yang memanas dan tidak
menentu akibat meletusnys perang kemerdekaan, Ghany mau tidak mau
juga ikut terdampar ke sana ke mari. Mula-mula ia mengungsi ke
Tasikmalaya. Di kota ini, naluri bisnisnya membuat ia menjalankan
usaha di bidang kerajinan tangan khas daerah Jawa Barat seperti
payung geulis, anyaman bambu dan lain-lain.
Pengungsiannya berlanjut ke kota Yogyakarta, karena situasi perang
yang semakin gawat. Di kota gudeg, lagi-lagi ia menjalankan bisnis,
kali ini dalam bidang penjualan arang. Yang menarik adalah, usahanya
pada waktu itu, sama sekali tidak bermodalkan uang. Uang menjadi
langka pada masa perang. Oleh sebab itu, modalnya hanyalah
kepercayaan. Ia mengambil arang dari kota Purworejo, untuk kemudian
diangkut dengan kereta api ke Yogya, dan dijual di sana. Baru
setelah laku, ia bayar hutangnya kepada pemilik barang.
Meski berjalan cukup baik, namun pendapatannya di bidang bisnis arang
tersebut tidaklah terlalu menggembirakan. Maka pada tahun 1949,
Ghany kembali ke Jakarta. Dengan hanya bermodal dengkul, ia putuskan
untuk memulai lagi bisnisnya sama sekali dari nol. Ia tidak punya
uang. Oleh sebab itu, ia mengandal pada kepercayaan orang lain serta
semangat kewirausahaan yang pantang mundur. Ditemuinya beberapa
pemilik produk tekstil serta barang-barang kelontong lainnya di
daerah Jakarta Kota, dan ia tawarkan sebuah program kerja sama
penjualan atas barang-barang dagangan tersebut.
Para pemilik produk yang terdiri dari orang-orang keturunan India dan
Cina itu merasa terkesan dengan sikap Ghany yang jujur dan penuh
semangat, sehingga mereka setuju dengan program kerja sama yang
ditawarkan Ghany. Maka singkatnya. jadilah Ghany juru pemasar barang-
barang dagangan milik para taukeh di Jakarta. Dari kerja sama
perdagangan ini, Ghany mulai mendapat sukses, dan perlahan-lahan ia
bisa mengumpulkan sejumlah uang.
Atas anjuran seorang rekan, Rahman Tamin, Ghany mulai menimbang-
nimbang untuk mengaktifkan kembali perusahaan miliknya dulu, yaitu
Masayu. (Dasaad dan Rahman Tamin adalah orang-orang yang dekat
dengan Ghany, dan keduanya juga merupakan pengusaha-pengusaha besar
serta kenamaan di Indonesia masa itu. Mereka termasuk Wirausahawan
Indonesia Generasi I).
Akhirnya, pertimbangannya menjadi kenyataan. Dengan berbekal
sejumlah uang hasil kerja sama dengan para taukeh di Kota, Ghany
menghidupkan kembali Masayu, dan langsung menggebrak dalam bidang
penjualan tekstil. Ia kerahkan semua tenaga, kemampuan dan strategi
dagang yang dimiliki, demi masa depan yang lebih menjanjikan.
Ternyata, nasibnya kali ini cukup baik, sedikit demi sedikit
perusahaannya memperoleh kemajuan, sampai satu saat ia merasa perlu
untuk mencari mitra di luar negeri. Ia tidak mau terus menerus
bergantung kepada Dasaad dengan perusahaannya Gindo and Dasaad
Concern, yang meminjamkan Surat Ijin Ekspor kepadanya.
Tanpa bekal kemampuan berbahasa Belanda sama sekali, Ghany pergi ke
Negeri Belanda. Untung ia berjumpa dengan orang Jerman yang fasih
berbahasa Indonesia, yang kebetulan pula merupakan seorang pimpinan
perusahaan alat-alat pertanian keluaran Jerman. Bersama orang
tersebut, Ghany berhasil menjalin kerja sama untuk mengageni produk
peralatan pertanian di Indonesia, dengan merek Carl Schlieper.
Demikianlah Abdul Ghany Aziz, pada akhirnya mendapatkan jalan lurus
menuju kesuksesan setelah kepergiannya ke Negeri Belanda serta
perjumpaannya dengan orang Jerman yang menjadi mitra bisnisnya.
Dengan usaha yang tidak kenal menyerah, ia berhasil mendapatkan order
dari Departemen Pertanian untuk pengadaan alat-alat bertani. Dari
situ ia juga berhasil meningkatkan penjualannya kepada berbagai pihak
lain.
Meski awal kiprahnya menjadi agen Carl Schlieper mendapat masalah
tuntutan hak paten dari sebuah perusahaan Belanda yang bernama Java
Staal, namun Ghany berhasil mengatasi masalah tersebut dengan bantuan
perusahaan Carl Schlieper sendiri yang terjun langsung ke
Pengadilan. Demikian juga pada saat berikutnya, ketika orang-orang
dan perusahaan-perusahaan Belanda yang tidak senang dengan sepak
terjangnya membuat ulah macam-macam, ia juga berhasil mengatasinya
dengan baik. Bahkan pada akhirnya, beberapa pengusaha Belanda
memutuskan untuk menjalin persahabatan dengan tokoh kita yang amat
ulet ini.
Setelah berbagai peristiwa itu berlalu, Abdul Ghany Aziz makin
membakukan dirinya sebagai pengusaha yang tangguh. Ia pergi ke
Amerika untuk mengambil keagenan berbagai produk penunjang pertanian,
antara lain menjadi agen traktor dan buldozer. Perusahaannya, Masayu
dan Kiagoos terus tumbuh kokoh dengan berbagai kantor cabangnya di
kota-kota besar di Indonesia, lengkap dengan ratusan orang karyawan
yang siap bekerja keras. Ia bahkan juga berhubungan dengan sebuah
perusahaan asing, Bristow Ltd., untuk mengageni produk helikopter
dari perusahaan tersebut. Maka muncullah PT Bristow Masayu
Helicopters yang berkantor di Jl. Jend. Sudirman Jakarta.
Sosok Abdul Ghany adalah sosok pekerja keras yang pantang menyerah.
Ia baru menyatakan diri pensiun saat usianya mencapai 71 tahun,
ketika ia merasa yakin bahwa fungsinya sebagai pimpinan dapat
didelegasikan kepada para manajer profesional. Itu pun ia koreksi
setelah mendapatkan kenyataan bahwa korupsi merajalela di dalam
perusahaan, beberapa tahun setelah ia tinggalkan.
Banyak orang kemudian tercengang bahwa ada seorang wirausahawan yang
pada usia 84 tahun, kembali aktif memimpin perusahaan besar dengan
ratusan karyawan di bawahnya. Itulah Abdul Ghany Aziz pada tahun 1977
Label:
success story
Minggu, 18 Oktober 2009
Dari Athlet...berbelok ke jualan oli
Siapa tak kenal Rudy Hartono? Atlet bulu tangkis yang satu ini adalah satu-satunya pemain Indonesia yang mampu menjadi juara All England sampai delapan kali. Saking hebatnya di lapangan bulu tangkis, Rudy disebut Wonder Boy alias anak ajaib oleh Herbert A. Schele, almarhum tokoh bulu tangkis dunia. Sementara itu media massa menjulukinya sang Maestro bulu tangkis. Tapi, sedikit yang tahu kalau Rudy Hartono juga piawai di bidang bisnis.
Buktinya, PT Topindo Atlas Asia milik Rudy mendapatkan penghargaan Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) 2001. Dibandingkan dengan produk lainnya —seperti Mesran, Penzoill, Federal, Castrol, Agip, Motul, dan produk oli lainnya yang banyak bertebaran di pasar— distributor oli merek Top 1 ini dinilai berhasil memuaskan para pelanggannya. Sudah barang tentu, penghargaan tersebut membuktikan bintang sang Maestro ini belum pudar. Hanya, kali ini bintangnya tidak lagi di lapangan bulu tangkis, tapi sudah pindah ke lapangan bisnis.
Sukses Rudy di bidang bisnis memang layak diacungi jempol, apalagi kini tak sedikit pensiunan atlet yang terpaksa meratapi nasibnya lantaran tak punya sumber penghasilan. Bagi Rudy sendiri, dunia bisnis sebenarnya bukan dunia baru. Sejak kecil, maestro yang punya nama asli Nio Hap Liang ini sudah terbiasa berurusan dengan dagang. Ayahnya, Zulkarnaen Kurniawan alias Nio Siek In, adalah pemilik klub Surya Naga di kota Surabaya. ”Dari kaos, sepatu olah raga, raket sampai alat olah raga, kita jual,” kenang Rudy.
Tak hanya kaos dan perlengkapan olah raga yang mereka jual, bisnis keluarga Rudy pun sempat berkembang menjadi produsen susu. Produk susu keluarga Rudy ini kabarnya tak hanya dipasarkan di wilayah Surabaya tapi sudah berkembang di Jawa Tengah sampai Jakarta. Sayangnya, perusahaan tersebut kini tak beroperasi lantaran tak ada yang mengurus. ”Semua sudah sibuk dengan bisnisnya masing-masing” kenang Rudy sambil tertawa.
Lantas, mengapa Rudy kembali ke dunia bisnis yang telah lama ditinggalkannya? Adalah Jimmy Zhu, sahabat Rudy sejak 1972, yang mengajaknya berbisnis oli. Ketika itu, lima tahun silam, pemilik Topindo itu mengajaknya berjualan oli impor Top 1. Kendati sibuk berurusan dengan pembinaan bulu tangkis, ajakan itu tak ditampiknya. Bersama mantan atlet bulu tangkis lainnya, Ade Chandra, Rudy pun menerima tawaran untuk bergabung di Topindo.
Rupanya, bintang terang masih menyinari Rudy. Tak butuh waktu lama, Top 1 mulai mengancam kedudukan Mesran Prima. Memang, dari segi volume penjualan, Mesran Prima masih mendominasi pasar. Toh, tak sedikit bengkel yang merekomendasikan Top 1. ”Ini mungkin karena faktor harga yang sedikit lebih mahal ketimbang mereka,” ujar Rudy beralasan. Meski begitu, konon Mesran makin khawatir akan keberadaan dan pemakaian oli Topindo. Tak hanya itu. Produsen oli impor macam Shell, Motul, dan masih banyak lagi mulai blingsatan.
Boleh jadi kiat memasang harga yang relatif miring dibandingkan dengan oli impor lainnya membuat penjualan Top 1 makin melejit. Untuk oli kualitas prima, misalnya, Topindo memasang harga Rp 26.000–Rp 30.000. Jauh lebih murah ketimbang oli impor lainnya yang dipasarkan dengan harga mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per liter. Di saat krisis seperti sekarang, ketika orang makin berhitung soal pengeluaran, Top 1 menjadi lebih kompetitif. ”Ini karena konsumen sekarang mulai peduli harga,” kata Rudy.
Tuduhan penipuan dan pemalsuan bertubi-tubi
Keberhasilan Top 1 di pasaran ternyata di luar perkiraan Rudy. Berbeda dengan oli lainnya, Topindo ternyata tak banyak melakukan promosi agar produknya digemari konsumen. Tanpa gencar gembar-gembor beriklan baik di teve, surat kabar, tabloid, majalah atau radio, konsumen melirik dan memakai produk Topindo. Hanya lewat event atau acara olah raga mobil ataupun motor Top 1 menggebrak pasar. Selain itu, menurut Rudy, pihaknya menggunakan metode pemasaran MLM alias marketing lewat mulut. Uniknya, ini dilakukan bukan oleh bagian marketing dari Topindo, melainkan datang dari konsumen.
Entah lantaran banyak yang iri atau karena sebab lain, berbagai isu pun mula ditebarkan para pesaing Top 1. Pukulan telak menimpa Topindo dan sempat menurunkan volume penjualan. Setahun lalu, misalnya, Topindo harus rela produknya dipalsukan. Untunglah, tak berapa lama persoalan tersebut selesai. Tapi, pukulan lain kembali dilayangkan ke Topindo. Kali ini Top 1 dituduh melakukan penipuan merek dan produksi. Kabar yang menyebutkan bahwa Top 1 merupakan produksi lokal yang diproduksi di Indonesia dan dilabelkan di Singapura kembali meruntuhkan kepercayaan konsumennya.
Isu lainnya menyebutkan bahwa Top 1 tak mempunyai pabrik di negara asalnya, Amerika. ”Padahal pabriknya sendiri ada empat di AS,” ujar Rudy tanpa bersedia menyebutkan volumenya. Seiring berjalannya waktu, tuduhan-tuduhan itu seolah hilang dibawa angin. Kepercayaan terhadap Top 1 pulih kembali. Berdasarkan survei yang dilakukan Topindo di banyak bengkel, Top 1 tetap menjadi salah satu oli yang disukai konsumen.
Sebagai Komisaris Utama Topindo, kini Rudy mulai menikmati buah keberhasilan Top 1. Meski masih kalah ketimbang Mesran, Penzoill, dan Federal, pangsa pasar Top 1 sudah mencapai 10% kebutuhan pelumas nasional. Ini lebih tinggi ketimbang Castrol, Agip, Shell dan Motul yang masih di bawah 5%. ”Padahal masuk pasarnya duluan mereka, lo,” kata Rudy.
Cinta Sejati Juragan Oli
Menjadi pengusaha bukanlah impian Rudy Hartono Kurniawan. Meski sejak kecil sudah akrab dengan dunia usaha, dan bahkan menikah dengan keponakan taipan William Soeryadjaja, Rudy lebih menyukai bulu tangkis. Tak heran, selama perjalanan kariernya Rudy mencurahkan waktu dan perhatian untuk olah raga yang satu ini. Mulai dari menjadi atlet, pembina, sampai mendirikan klub Jaya Raya yang menampung atlet berbakat di bulu tangkis.
Saking cintanya terhadap olah raga bulu tangkis, anak ketiga dari delapan bersaudara keluarga Zulkarnaen Kurniawan ini tak mau setengah-setengah menjalaninya. Disiplin serta ketekunannya telah membuahkan banyak hasil. Lantaran sering menjadi juara, namanya pun terukir di Guinnes Book of Record sebagai juara All England delapan kali. Tak hanya itu, pria kelahiran Surabaya 52 tahun lalu ini juga menerima penghargaan Diplome D’Honneur dari Unesco, penghargaan tertinggi di bidang olah raga.
Tapi, setelah bertahun-tahun setia dengan bulu tangkis, iman Rudy pun mulai tergoda untuk terjun ke dunia bisnis oli impor. Dari sekian produk oli impor, pilihannya jatuh ke Top 1. Seolah ingin menjadikan Top 1 seperti perjalanan kariernya yang selalu menjadi juara satu, Rudy pun tak mau tanggung-tanggung menekuninya. Tanyalah dirinya tentang oli, sederet kalimat bakal keluar dari mulutnya. Mulai dari urusan ganti oli sampai bahan oli ada di kepalanya. ”Untuk menjadi sukses, kenali produk sedetil mungkin. Jangan ada yang terlewat,” katanya.
Kini, Rudy sedikit bisa bersantai lantaran cita-citanya untuk membawa Top 1 menjadi top mulai menampakkan hasil. ”Ini semua anugerah dari Tuhan,” katanya. Sayang, bintangnya sebagai artis film kurang begitu bersinar. Asal tahu saja, Rudy pernah menjadi pemain film. Filmnya, yang dimainkan bersama perancang Poppy Dharsono, ternyata kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Entah kapok atau karena sebab lain, yang jelas sejak itu ia tak pernah muncul lagi di dunia film. ”Terlalu banyak waktu yang dibutuhkan,” kata Rudy.
Meski telah sukses di dunia usaha, kecintaannya terhadap olah raga bulu tangkis ternyata tidak pernah padam sedikit pun. Selain sibuk berbisnis, sebagai duta UNDP, ia terus mencari anak-anak yang punya bakat di bidang olah raga bulu tangkis. Tak heran bila Rudy harus turun ke jalan atau gang-gang sempit hanya untuk mencari bibit baru. ”Siapa tahu, kelak ada calon maestro lainnya,” ujar Rudy
Buktinya, PT Topindo Atlas Asia milik Rudy mendapatkan penghargaan Indonesian Customer Satisfaction Award (ICSA) 2001. Dibandingkan dengan produk lainnya —seperti Mesran, Penzoill, Federal, Castrol, Agip, Motul, dan produk oli lainnya yang banyak bertebaran di pasar— distributor oli merek Top 1 ini dinilai berhasil memuaskan para pelanggannya. Sudah barang tentu, penghargaan tersebut membuktikan bintang sang Maestro ini belum pudar. Hanya, kali ini bintangnya tidak lagi di lapangan bulu tangkis, tapi sudah pindah ke lapangan bisnis.
Sukses Rudy di bidang bisnis memang layak diacungi jempol, apalagi kini tak sedikit pensiunan atlet yang terpaksa meratapi nasibnya lantaran tak punya sumber penghasilan. Bagi Rudy sendiri, dunia bisnis sebenarnya bukan dunia baru. Sejak kecil, maestro yang punya nama asli Nio Hap Liang ini sudah terbiasa berurusan dengan dagang. Ayahnya, Zulkarnaen Kurniawan alias Nio Siek In, adalah pemilik klub Surya Naga di kota Surabaya. ”Dari kaos, sepatu olah raga, raket sampai alat olah raga, kita jual,” kenang Rudy.
Tak hanya kaos dan perlengkapan olah raga yang mereka jual, bisnis keluarga Rudy pun sempat berkembang menjadi produsen susu. Produk susu keluarga Rudy ini kabarnya tak hanya dipasarkan di wilayah Surabaya tapi sudah berkembang di Jawa Tengah sampai Jakarta. Sayangnya, perusahaan tersebut kini tak beroperasi lantaran tak ada yang mengurus. ”Semua sudah sibuk dengan bisnisnya masing-masing” kenang Rudy sambil tertawa.
Lantas, mengapa Rudy kembali ke dunia bisnis yang telah lama ditinggalkannya? Adalah Jimmy Zhu, sahabat Rudy sejak 1972, yang mengajaknya berbisnis oli. Ketika itu, lima tahun silam, pemilik Topindo itu mengajaknya berjualan oli impor Top 1. Kendati sibuk berurusan dengan pembinaan bulu tangkis, ajakan itu tak ditampiknya. Bersama mantan atlet bulu tangkis lainnya, Ade Chandra, Rudy pun menerima tawaran untuk bergabung di Topindo.
Rupanya, bintang terang masih menyinari Rudy. Tak butuh waktu lama, Top 1 mulai mengancam kedudukan Mesran Prima. Memang, dari segi volume penjualan, Mesran Prima masih mendominasi pasar. Toh, tak sedikit bengkel yang merekomendasikan Top 1. ”Ini mungkin karena faktor harga yang sedikit lebih mahal ketimbang mereka,” ujar Rudy beralasan. Meski begitu, konon Mesran makin khawatir akan keberadaan dan pemakaian oli Topindo. Tak hanya itu. Produsen oli impor macam Shell, Motul, dan masih banyak lagi mulai blingsatan.
Boleh jadi kiat memasang harga yang relatif miring dibandingkan dengan oli impor lainnya membuat penjualan Top 1 makin melejit. Untuk oli kualitas prima, misalnya, Topindo memasang harga Rp 26.000–Rp 30.000. Jauh lebih murah ketimbang oli impor lainnya yang dipasarkan dengan harga mulai dari Rp 50.000 sampai Rp 100.000 per liter. Di saat krisis seperti sekarang, ketika orang makin berhitung soal pengeluaran, Top 1 menjadi lebih kompetitif. ”Ini karena konsumen sekarang mulai peduli harga,” kata Rudy.
Tuduhan penipuan dan pemalsuan bertubi-tubi
Keberhasilan Top 1 di pasaran ternyata di luar perkiraan Rudy. Berbeda dengan oli lainnya, Topindo ternyata tak banyak melakukan promosi agar produknya digemari konsumen. Tanpa gencar gembar-gembor beriklan baik di teve, surat kabar, tabloid, majalah atau radio, konsumen melirik dan memakai produk Topindo. Hanya lewat event atau acara olah raga mobil ataupun motor Top 1 menggebrak pasar. Selain itu, menurut Rudy, pihaknya menggunakan metode pemasaran MLM alias marketing lewat mulut. Uniknya, ini dilakukan bukan oleh bagian marketing dari Topindo, melainkan datang dari konsumen.
Entah lantaran banyak yang iri atau karena sebab lain, berbagai isu pun mula ditebarkan para pesaing Top 1. Pukulan telak menimpa Topindo dan sempat menurunkan volume penjualan. Setahun lalu, misalnya, Topindo harus rela produknya dipalsukan. Untunglah, tak berapa lama persoalan tersebut selesai. Tapi, pukulan lain kembali dilayangkan ke Topindo. Kali ini Top 1 dituduh melakukan penipuan merek dan produksi. Kabar yang menyebutkan bahwa Top 1 merupakan produksi lokal yang diproduksi di Indonesia dan dilabelkan di Singapura kembali meruntuhkan kepercayaan konsumennya.
Isu lainnya menyebutkan bahwa Top 1 tak mempunyai pabrik di negara asalnya, Amerika. ”Padahal pabriknya sendiri ada empat di AS,” ujar Rudy tanpa bersedia menyebutkan volumenya. Seiring berjalannya waktu, tuduhan-tuduhan itu seolah hilang dibawa angin. Kepercayaan terhadap Top 1 pulih kembali. Berdasarkan survei yang dilakukan Topindo di banyak bengkel, Top 1 tetap menjadi salah satu oli yang disukai konsumen.
Sebagai Komisaris Utama Topindo, kini Rudy mulai menikmati buah keberhasilan Top 1. Meski masih kalah ketimbang Mesran, Penzoill, dan Federal, pangsa pasar Top 1 sudah mencapai 10% kebutuhan pelumas nasional. Ini lebih tinggi ketimbang Castrol, Agip, Shell dan Motul yang masih di bawah 5%. ”Padahal masuk pasarnya duluan mereka, lo,” kata Rudy.
Cinta Sejati Juragan Oli
Menjadi pengusaha bukanlah impian Rudy Hartono Kurniawan. Meski sejak kecil sudah akrab dengan dunia usaha, dan bahkan menikah dengan keponakan taipan William Soeryadjaja, Rudy lebih menyukai bulu tangkis. Tak heran, selama perjalanan kariernya Rudy mencurahkan waktu dan perhatian untuk olah raga yang satu ini. Mulai dari menjadi atlet, pembina, sampai mendirikan klub Jaya Raya yang menampung atlet berbakat di bulu tangkis.
Saking cintanya terhadap olah raga bulu tangkis, anak ketiga dari delapan bersaudara keluarga Zulkarnaen Kurniawan ini tak mau setengah-setengah menjalaninya. Disiplin serta ketekunannya telah membuahkan banyak hasil. Lantaran sering menjadi juara, namanya pun terukir di Guinnes Book of Record sebagai juara All England delapan kali. Tak hanya itu, pria kelahiran Surabaya 52 tahun lalu ini juga menerima penghargaan Diplome D’Honneur dari Unesco, penghargaan tertinggi di bidang olah raga.
Tapi, setelah bertahun-tahun setia dengan bulu tangkis, iman Rudy pun mulai tergoda untuk terjun ke dunia bisnis oli impor. Dari sekian produk oli impor, pilihannya jatuh ke Top 1. Seolah ingin menjadikan Top 1 seperti perjalanan kariernya yang selalu menjadi juara satu, Rudy pun tak mau tanggung-tanggung menekuninya. Tanyalah dirinya tentang oli, sederet kalimat bakal keluar dari mulutnya. Mulai dari urusan ganti oli sampai bahan oli ada di kepalanya. ”Untuk menjadi sukses, kenali produk sedetil mungkin. Jangan ada yang terlewat,” katanya.
Kini, Rudy sedikit bisa bersantai lantaran cita-citanya untuk membawa Top 1 menjadi top mulai menampakkan hasil. ”Ini semua anugerah dari Tuhan,” katanya. Sayang, bintangnya sebagai artis film kurang begitu bersinar. Asal tahu saja, Rudy pernah menjadi pemain film. Filmnya, yang dimainkan bersama perancang Poppy Dharsono, ternyata kurang mendapat sambutan dari masyarakat. Entah kapok atau karena sebab lain, yang jelas sejak itu ia tak pernah muncul lagi di dunia film. ”Terlalu banyak waktu yang dibutuhkan,” kata Rudy.
Meski telah sukses di dunia usaha, kecintaannya terhadap olah raga bulu tangkis ternyata tidak pernah padam sedikit pun. Selain sibuk berbisnis, sebagai duta UNDP, ia terus mencari anak-anak yang punya bakat di bidang olah raga bulu tangkis. Tak heran bila Rudy harus turun ke jalan atau gang-gang sempit hanya untuk mencari bibit baru. ”Siapa tahu, kelak ada calon maestro lainnya,” ujar Rudy
Label:
business owner,
success story